STUDI HADIS DAN ULUM AL-HADIS DALAM PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY'ARI
STUDI HADIS DAN ULUM
AL-HADIS DALAM
PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY’ARI
A.
Pendahuluan
Dalam kata pengantar terhadap kitab tafsir al Quran, Tafhim al Qur’an,
Khursid Ahmad membuka komentarnya dengan mengatakan, keunikan Islam terletak
pada kenyataan bahwa agama ini mendasarkan diri pada sebuah kitab, yakni
al-Qur’an. Demikian pula dengan umatnya. Jika Islam sebagai agama bersumber
pada al-Qur’an dan kehidupan umatnya juga bersumbear padanya, maka kita melihat
hubungan segi tiga al-Qur’an-Agama-Umat. Itu berarti: identitas, personalitas
histories, kebudayaan dan peradaban kaum muslim itu, berasal dan dibentuk oleh
al-Qur’an[1].
Permasalahan yang timbul kemudian adalah, seberapa jauh pemahaman
seseorang terhadap kitab suci ini dan aplikasinya terhadap kehidupan sosial
terutama kalangan masyarakat awam. Itu berarti, diperlukan orang-orang, yang
dengan pengetahuan luas, mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an untuk
ditransformasikan pada masyarakat. Satu diantara sekian orang itu adalah KH. Hasyim
Asy’ari, prototype ulama salaf yang
menguasai berbagai ilmu agama secara mendalam.
B.
Mengenal Sosok KH. Hasyim
Asy’ari
1.
Riwayat Hidup
Beliau lahir pada tanggal 14 Pebruari 1871, bertepatan
dengan tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, di desa Gedang, 2 km sebelah utara kota
Jombang, Jawa Timur. Nama kecilnya adalah Muhammad Hasyim. Ayahnya bernama Kiai
Asy’ari yang berasal dari demak, Jawa Tengah, pengasuh dan pendiri pesantren
Keras Jombang (sekarang al-Asy’ariah). Ibunya bernama Halimah. M. Hasyim Sejak
kecil tinggal dan dibesarkan di lingkungan pesantren Gedang yang diasuh oleh
kakeknya, Kiai Utsman. Dari garis keturunan ibunya.[2]
Ia adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu,
Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi,
dan Adnan. Sampai umur lima tahun, beliau dalam asuhan orang tua dan kakeknya
di persantren Gedang. Di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama
Islam dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana in tidak diragukan
lagi mempengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar.
Seperti yang sudah sedikit disinggung, bahwa pada
tahun 1876, ketika K.H. Hasyim Asy’ari berumur enam tahun, ayahnya mendirikan
pondok pesantren Keras, sebelah selatan Jombang. Hal ini merupakan suatu
pengalaman yang kemungkinan besar mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan
pesantren sendiri. Oleh karena itu jelaslah bahwa kehidupan masa kecilnya
dilingkungan pesantran sangat berperan dalam pembentukan wataknya yang haus
akan ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama
dengan baik.[3]
Semasa hidupnya, ia mendapat pendidikan dari ayahnya
sendiri, terutama pendidikan dibidang ilmu al-Qur’an dan literature agama
lainnya, setelah berusia 14 tahun, ia menjelajah untuk menuntut ilmu ke
berbagai pondok pesantren terutama di pulau Jawa sendiri. Dan selam belajar di
pesantren Siwalan, rupanya K.H. Hasyim Asy’ari adalah santri yang potensial dan
sangat menguasai ilmu agama. Sehingga tidak lamu kemudian, tepatnya tahun 1303
H atau 1892 M, beliau dijadikan menantu oleh Kiai Ya’qub yang dijodohkan dengan
putrinya Chadijah. Dan setelah menikah beliau bersama istrinya segera melakukan
ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K.H.
Hasyim Asy’ari menganjurkannya untuk menuntut ilmu ke Mekkah.[4] Beliau
wafat pada tanggal 7 Ramadlan 1366, bertepatan dengan tanggal 27 Juli 1947.[5]
2.
Keterlibatan Dalam Dunia
Pendidikan[6]
Sepulang dari tanah suci, Hasyim langsung terjun di
dunia pendidikan, ini tak lain karena kepentingan memperjuangkan agama yang
sudah menjadi bagian hidupnya. Karena itu ia ingin mendirikan pesantren. Ketika
tekad itu disampaikan kepada beberapa temannya dan pesantraean itu akan
didirikan di daerah Teabuireng yang terletak jauh dari kota Jombang,
teman-teman Hasyim tidak semuanya mendukung.
Mereka yang tidak setuju beralasan, bahwa daerah itu
tidak cocok untuk didirikan pesantren bukan hanya jauh dari kota Jombang,
tetapi merupakan daerah yang sangat tidak aman. Di sana bercokol masyarakat
yang belum beragama dan adat istiadatnya bertentangan dengan perikemanusiaan,
seperti merampok, berjudi, berzina dan berbagai kemaksiatan lainnya. Di
sepanjang jalan menuju Tebuireng waktu itu
penuh dengan rumah-rumah prostitusi dan warung minuman keras.
Menghadapi kondisi seperti itu tekad Hasyim tidak
surut, justru semakin mendorong semangatnya untuk segera mendirikan pesantren di Tebuireng. Dia
berprinsip,bahwa menyiarkan agama berarti memperbaiki masyarakat yang belum
baik. Jika moral masyarakat sudah baik, maka apalagi yang perlu diperbaiki.
Keputusan mendirikan pesantren baru ini dimaksudkan untuk menyampaikan ilmu
yang telah diperoleh dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent social
of change. Berdasarkan tujuannya ini dia ingin mengubah struktur dalam
masyarakat. Dia memandang pesantren lebih dari sekedar tempat pendidikan
ataupun lembaga moral dan religius, tetapi sebuah sarana penting untuk membuat
perubahan yang berarti dalam masyarakat secara luas. Hal ini merupakan bukti
dalam menghadapi kritik, dia menggunakan contoh kehidupan Nabi dan upaya-upaya
yang dilakukan Walisongo dalam mengislamkan masyarakat Jawa, sebagai model yang
bijak untuk meyakinkan para Kiai lain tentang perihal rencananya.
3.
Karya-karya KH. Hasyim
Asy’ari
Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asy’ari
menyumbangkan banyak hal berharga bagi pengembangan peradaban. Diantaranya
adalh sejumlah literature yang berhasil
ditulisnya. Karya-karya tulis Kyai Hasyim yang terkenal adalah sebagai berikut:[7]
a.
Adab al-Alim wa al-Muta’alim
Fima yahtaj ilail al-Muta’alim fi Ahwal
Ta’alum wa ma yatawaqaf ‘alaih al-Muta’alim fi Maqamat Ta’limi. Kitab
yang membahas tentang tatacara mencari ilmu dan prilaku guru dan murid.
b.
Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha
Mahzumat al-Syekh Abdullah bin Yasin al-Fasurani allati Bihujubiha ‘ala Ahl
al-Jam’iyah Nahdlat al-‘Ulama. Kitab ini berisi tentang jawaban-jawaban KH.
Hasyim Asy’ari terhadap pernyataan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan, yang
dianggao beliau melemahkan warga Nahdlatul Ulama.
c.
al-Tanbihat al-Wajihat Liman
Yashna’ al-Maulid al-Munkarat. Kitab ini berisi peringatan kepada para
santri dan umat Islam terhadap hal-hal yang wajib bagi orang yang mengadakan
peringatan maulid Nabi Muhammad dengan cara-cara yang mungkar.
d.
al-Risalat al-Jamiat, Sarh fiha
Ahwaal al-Mauta wa Asyrath al-Sa’at ma’ bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab
ini berisi tentang penjelasan-penjelasan orang yang meninggal dunia dan
tanda-tanda hari kiyamat serta penjelasan tentang bid’ah dan sunnah.
e.
Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi
Sarh Risalat al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al Anshari.
Kitab ini merupakan penjelasan/ syarah atas risalah wali Ruslan karya Syaikh al-Islam
Zakariya al-Anshari.
f.
al-Nur al-Mubbin fi Mahabbah
Syayid al-Mursalin, Bain Fihi a’na al-Muhabbah li Rasul Allah Ma’wa yata’allaq
Biha Man Ittiba’iha wa Ihya al-Sunnatih. Kitab ini berisi tentang makna
cinta kepada Nabi Muhammad s.a.w dan hal-hal yang mesti diikuti dalam rangka menghidupkan
sunnahnya.
g.
al-Tibyan fi al-Nahy ‘an
Muqathi’ah al-Ikhwan, bian fih Ahammiyat Shillat al-Rahim wa Dzarrur. Kitab
ini menerangkan tentang pentingnya
menjalin hubungan sillaturahim antar sesama muslim dan bahaya memutuskan
sillaturrahin tersebut.
h.
al-Durar al-Muntatsirah fi
al-Masail al-Tis’a Asyarat, Sarh fiha
Masalat al-Thariqah wa al-Wilayah wama Yata’allaq wa Umar al-Muhimmah li
Ahl al-Thariqah. Kitab ini membahas 19 masalah thariqat.
i.
al-Risalat al-Tauhidiyah,
wahiya Risalah Shaghirah fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Kitab
ini merupakan risalah kecil tentang ahlussunnah wal jama’ah.
j.
al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min
al-Aqo’id. Kitab ini menerangkan tentang aqidah-aqidah yang wajib.
Mungkin masih banyak kitab-kitab lain yang ditulis
oleh KH. Hasyim Asy’ari, tetapi belum berhasil diungkapkan, namun karya-karya
di atas sudah cukup untuk mewakili karya-karya beliau.
C.
Pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari
1.
Pentingnya Mempelajari
Hadis Nabi
Pada umumnya umat Islam berpendapat, bahwa hadis
adalah sumber ajaran Islam ke dua yang berfungsi sebagai penjelas dari pada
al-Qur’an. Karena tanpa menggunakan hadis nabi, maka ajaran-ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an tidak akan dapat dimengerti secara utuh dan tidak
dapat dilaksanakan secara kaffah (sempurna). Karena keberadaannya
sebagai sumber ajaran Islam, maka perhatian umat Islam sejak zaman sahabat
sampai sekarang begitu besar.
Pada kenyataannya salah satu ulama kharismatik di
Indonesia, yaitu KH. Hasyim asy’arie sangat menekankan akan pentingnya
mengkaji, memahami, serta mengamalkan apa yang telah diwariskan oleh nabi
melalui hadis-hadisnya. Dalam hal ini kita dapat melihat salah satu karyanya
yang berjudul an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin. Dimana di
dalamnya berisikan tentang anjuran untuk meneladani nabi Muhammad, seperti; 1)
wajibnya beriman, ta’at, berlaku Ikhlas, serta mencintai nabi Muhammad. Dalam
hal ini beliau banyak –hampir keseluruhan kitab- menyitir ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis nabi seperti:
(#qãZÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur ÍqZ9$#ur üÏ%©!$# $uZø9tRr& 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
Maka berimanlah kamu
kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Quran) yang Telah kami
turunkan. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. at-Taghabun.
64:8).
Abu Hurairah
berkata: Nabi Muhammad bersabda, semua umatku akan masuk surga kecuali orang
yang membangkang, mereka bertanya, siapa orang yang membangkang ya rasul? Nabi
menjawab, barang siapa taat kepadaku sungguh dia telah masuk surga, dan barang
siapa mendurhakaiku sungguh dia telah membangkang. Allah telah menjadikan taat
keapada rasul-Nya sama dengan taat kepada-Nya, dan Allah menjanjikan bagi orang
itu pahala yang banyak, dan mengancam atas pembangkangannya dengan siksa yang
pedih. Rasul mewajibkan umatnya mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari ketaatan kepda rasul itu
dalam rangka menunjukkan komitmen kepada sunahnya dan pasrah dengan apa yang
datang dari Tuhannya. Oleh karena itu umat Islam sepenuhnya dituntut untuk
selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis nabi sebagai petunjuk dalam
mengarungi bahtera kehidupan dengan selamat.[8]
2.
Perbincangan Tentang Sunnah
dan Bid’ah
Dalam kitab Risalah Ahlu as Sunnah wa al-Jama’ah,
KH. Hasyim menjelaskan uraiannya tentang sunnah, bahwa: Lafal as-Sunnah,
dengan dibaca dhammah sin-nya dan ditasdid (dicampur) sebagaimana
dikatakan oleh Abu al-Baqa’, secara bahasa sunah berarti semua jalan yang
diridlai ataupun tidak. Sedangkan menurut syara’ berearti suatu jalan yang
benar yang telah praktekkan oleh Nabi SAW, dan orang-orang yang mengetahui
tentang agama, seperti para sahabat ra. Penjelasan ini didasarkan kepada sabda
Nabi yang berbunyi, “ Peganglah dengan kuat sunahku dan sunah Khulafa’ al-rasyidin
sesudahku.” Adapun menurut ‘Urf (tradisi), Sunnah adalah sesuatu yang
dipegang teguh seorang pengikut, baik nabi maupun wali.[9]
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa
sunah menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari adalah norma ideal yang telah
diamalkan oleh nabi, maupun para sahabatnya sebagai panutan untuk generasi
selanjutnya. Sejauh pemahaman punulis, pendapat yang diungkapkan oleh KH.
Hasyim Asy’ari adalah gambaran sunnah setalah mengalami perkembangan, dimana
pada mulanya sunah adalah segala sesuatu –perkataan, perbuatan, ucapan- yang
hanya disandarkan kepada nabi. Namun sepeninggal beliau, pemahaman sunah
berkembang bimana segala sesuatu yang datang dari sahabat juga dimasukkan
sebagai hadis karena sahabat adalah orang yang selalu bergaul denga nabi,
mendengar sabdanya dan menyaksikan perbuatannya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan
oleh ulama generasi sesudah sahabat pun –tabi’in- disebut juga dengan hadis.
Karenanya, di dalam ilmu hadis, ada pembedaan antara
berita yang bersumber dari nabi, sahabat, dan tabi’in. dengan pemilahan seperti
ini, maka hadis yang bersumber dari nabi disebut dengan hadis marfu’, yang
bersumber dari sahabat disebut hadis mauquf, sedangkan yang bersumber
dari tabi’in dikategorikan sebagai hadis maqthu’[10]
Sedangkan bid’ah menurut Syara’ adalah
menciptakan hal-hal baru yang bukan termasuk bagian agama seolah-olah termasuk
bagian dari agama. Pendapat ini didasarkan kepada hadis nabi s.a.w bahwa:
“Siapa saja yang membuat hal-hal baru yang bukan termasuk bagian dari agama
maka hal tersebut secara otomatis tertolak” dalam kesempatan yang lain nabi
bersabda: “ setiap orang yang membuat hal-hal baru tentang urusan agama adalah
bid’ah”.
Untuk lebih memperjelas tentang gambaran bid’ah, KH.
Hasyim Asy’ari mengutip pendapat syeikh Zaruq yang memberikan parameter tentang
bid’ah sebagai berikut:[11]
- Dilihat dari masalah yang diperbarui. Jika sejalan dengan syari’at Islam, maka yang demikian itu tidaklah disebut dengan bid’ah. Namun apabila masalah yang diperbarui tersebut sepenuhnya bertentangan dengan hukum Islam maka sesuatu tersebut tidak sah karna hal tersebut termasuk perkara bid’ah (mengada-ada).
- Mempertimbangkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang selalu berpegang teguh terhadap sunah, maka barang siapa yang argumennya tidak sejalan dengan yang digunakan oleh ulama salaf, maka hal tersebut adalah termasuk perbuatan bid’ah. Namun, apabila ada kesamaan maka perkara tersebut bisa diterima dan diamalkan.
- Harus sejalan dengan hukum-hukum Islam yang terperinci menjadi enam bagian: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf al-aula (berbeda dengan hukum yang lebih utama), dan mubah. Maka setiap perbuatan yang sejalan dengan hukum-hukum Islam tersebut tentu bisa diterima keberadaannya.
Lebih lanjut syeikh Zaruq menjelaskan tentang
macam-macam bid’ah diantaranya adalah:[12]
- Bid’ah Sarihah, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa berpedoman kepada dalil syar’i. perbuatan semacam ini diciptakan bertujuan untuk menandingi sunah nabi agar pesan-pesan yang dikandungnya tidak dapat eksis.
- Bid’ah Idhafiah, yaitu segala suatu hal yang baru namun penciptaannya sejalan dengan hukum Islam, maka yang demikian itu dapat diterima keberadaannya.
- Bid’ah Khilafiah, yaitu segala inovasi yang didasarkan kepada dua sumber yang saling tarik-menarik antara keduanya. Dimana ada yang mengatakan hal tersebut adalah bid’ah, sedangkan yang lain menganggap hal tersebut adalah sunna, seperti dzikir jamaah.
3.
Pemahaman atas Hadis “Pecahnya
umat Muhammad menjadi 73 golongan”
Sebagaimna telah diketahui, bahwa terdapat hadis nabi
yang diriyawatkan oleh Imam Abu dawud, Tirmizi, dan Ibnu majah dari abu
Hurairah tentang 73 golongan dan semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu golongan yang berpegang teguh kepada sunah nabi dan sahabatnya:
روى ابو داود والترمذى
واٍبن ماجه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قال: اٍفترقت الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ
النَّصَارَى عَلَى إثِنَْيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً, كلها في النار اٍلا واحدة, قالوا: ومن هم يا رسول
الله؟ قال: هم الذين على الذى انا عليه واصحابي.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah bersabda: “orang Yahudi akan pecah menjadi 71 golongan, orang
Nasrani akan pecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan pecah menjadi 73
golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Sahabt bertanya, siapakah
mereka wahai rasul? Beliau menjawab, mereka adalah orang-orang yang berpegang
teguh kepada sunahku dan sahabatku.
Menanggapi hal ini KH. Hasyim Asy’ari banyak mencantumkan
beberapa pendapat ulama, diantaranya adalah pendapatnya Abu Mansur ibnu Tahir
at-Tamimi. Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya golongan yang dicela tersebut
adalah golongan yang berbeda pendapat dalam masalah furu’iah al-fiqhiah yang
berbeda dalam permasalahan halal dan haram, akan tetapi golongan-golongan yang
dicela oleh nabi tersebut adalah golongan yang menentang kebenaran dalam
masalah-masalah inti ke-tauhid-an, tentang baik dan buruk, kenabian, serta
mereka yang berselisih pendapat tentang kasih sayang para sahabat nabi. Dengan
alas an, bahwa orang-orang yang berselisih dalam beberapa permasalahan di atas
akan mengkafirkan satu sama lain tanpa pertimbangan apapun. Berbeda dengan
masalah yang pertama yang hanya berbeda pendapat dalam furu’iah al-fiqhiah, mereka
akan berbeda pendapat satu sama lainnya tanpa men-fasiq-kan antara sesama.[13]
Dalam permasalahan ini, wajar ketika KH. HAsyim Asy’ari
lebih cederung sependapat dengan Abu Mansur yang intinya lebih menekankan akan
pentingnya persatuan umat tanpa harus mengkafirkan antara sesama, karena KH.
Hasyim sendiri sangat memperhatikan akan hal tersebut. Sebagai bukti, beliau
sempat mempunyai karya yang memusatkan perhatiannya akan pentingnya memperkuat
hubungan silaturrahim dan larangan memutuskannya. Menurut beliau Allah telah
menyukai siapa saja yang mempererat tali hubungan silaturrahim sebagai bentuk
pendekatan diri kepada-Nya yang paling utama, sedangkan memutuskan tali
hubungan persaudaraan antara sesame muslim adalah perbuatan yang paling dibenci
oleh-Nya serta termasuk perbuatan yang paling keji.[14]
4.
Konsep Taklid Bagi
yang Bukan Mujtahid
Pada pembahasan ini dijelaskan bahwa bagi siapa saja
yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad atau menemukan solusi hukum
yang baru bagi persoalam umat berdasarkan syariat Islam, maka mereka wajib
mengikuti pendapat ulama yang kapabel dalam urusan agama. Sejauh pengamatan
penulis, dalam hal ini KH. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada pendapat
mayoritas ulama berdasarkan firman Allah:
Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. an-Nahl, 16:43)
Ayat di atas memberikan arahan bagi siapa saja yang
tidak mempunyai pengetahuan yang memadai, seyogyanya tidak serta-merta
berijtihad dalam menyelesaikan segala persoalan, melainkan mereka haruslah
berkonsultasi kepada siapa saja yang lebih berpengalaman serta mempunyai
kemampuan yang baik. Sehingga yang demikian itu tentunya akan lebih bermanfaat
bagi umat manusia.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, Sejak masa sahabat dan
tabi’in, ketika muncul permasalahan baru, mereka memohon fatwa pada para ulama
mujtahid dalam masalah syari’at dan kemudian mereka mengikutinya. Sebagian
ulama ada yang langsung menjawabnya tanpa harus menunjukkan dalil terebih
dahulu, akan tetapi mereka juga tidak dilarang untuk menunjukkannya seketika.
Oleh karena itu ulama telah bersepakat, bahwa orang awam haruslah berusaha
semampunya untuk selalu mengaca kepada ulama atau cendikia yang mempunyai pemahaman
lebih sempurna terhadap al-Qur’an dan sunah nabi. Akan tetapi menurut pandangan
beliau orang awam tidak dituntut agar selalu mengikuti secara teguh satu mahzab
untuk setiap persoalan. Melainkan boleh saja mereka mengikuti imam-imam yang
lain. Seperti yang dicontohkan oleh beliau tentang diperbolehkannya mengikuti
satu imam dalam salat dhuhur dan mengikuti imam yang lain dalam salat ashar.[15]
Namun demikian, KH. Hasyim Asy’ari memberikan arahan
bagi siapa saja yang mencoba untuk taqlid agar selalu berhati-hati dan tidak
semberono dalam memilih figur, karena kesalahan dalam memilih panutan yang baik
akan memberikan dampak yang sangat buruk. Beliau memperkuat pendapatnya dengan
memaparkan beberapa hadis ataupun ayat-ayat al-Qur’an. Salah satunya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah:
روى مسلم في صحيحه ان ابا
هريرة رضي الله عنه يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يكون في أخر الزمان
دجالون كذابون, يأتونكم من الأحاديث بما لم تسمعوا انتم ولا أباوءكم, فاٍياكم
واٍياهم, لايضلونكم ولا يفتونكم.
“Rasulullah bersabda, akan muncul di akhir
zaman para Dajjal pendusta, mereka datang kepadamu semua dengan membawa hadis-hadis
yang tidak pernah terdengar olehmu, begitu juga orangtuamu, maka jauhilah mereka, sehingga
kamu tidak bisa mereka sesatkan dan mereka fitnah”.[16]
D.
Penutup
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan beberapa poin penting yang
menjadi catatan penulis diantaranya:
1.
Sepanjang pelacakan penulis
terhadap hadis-hadis yang ada di dalam beberapa karyanya seperti; al-Nur
al-Mubbin fi Mahabbah Syayid al-Mursalin; Risalah ahlussunnah wa al-Jama’ah; serta
at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan KH.
Hasyim Asy’ari kebanyakan tidak menyebutkan mata rantai perawi hadis, melainkan
lebih menitik beratkan kepada matan hadis. Hal ini boleh saja terjadi karena pada
masa itu apa yang dijelaskan oleh seseorang yang sudah dianggap tokoh
masyarakat, lebih-lebih mempunyai gelar Kiai akan dipandang benar keberadaannya
tanpa diperlukan sanad –dalam konteks kajian hadis-.
2.
Bahwa sesungguhnya KH. Hasyim.
Asy’ari adalah salah satu figur ulama kharismatik yang benar-benar intens dalam
membina moral dan intelektual masyarakat pada masanya, dimana pengetahuannya
tentang masalah agama sangatlah mendalam. Salah satunya adalah pengetahuannya
tentang hadis nabi yang ditorehkan dalam karya-karyanya.
3.
Menurut beliau hadis memiliki
fungsi yang sangat penting setelah al-Qur’an dimana ia merupakan penjelas dari
al-Qur’an.
4.
Beliau adalah seorang penulis
produktif, dimana sebagian besar karyanya ia tulis dalam bentuk Bahasa Arab
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti Tasawuf, Fiqh, dan Hadis. Dan
sampai sekarang sebagian kitab ini masih dipelajari diberbagai pondok
pesantern.
****
DAFTAR PUSTAKA
Ahza, Shalahuddin Hamid dan Iskandar, 100 Tokoh Islam Paling
Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2003).
Asy’ari, Hasyim, an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin,
dalam buku Sang Kiai, Yogyakarta: Qirtas, 2005.
_______, Risalah Ahlu as- Sunnah wa al-Jama’ah, Jombang: Maktabah Turats
Islami, 1997.
_______, at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa
al-Ikhwan, Yogyakarta: Qirtas, 2005.
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama’: Biografi K.H. Hasyim
Asy’ari, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Masyhuri, Aziz, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Yogyakarta: Kutub,
2008.
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
2002.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yoyakarta:
Tiara Wacana, 2003.
[1] M. Dawam
Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2002)
[2]
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di
Indonesia, (Jakarta: Intimedia, 2003), hlm. 1.
[3] Lathiful
Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama’: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 18.
[4] Aziz
Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, (Yogyakarta: Kutub, 2008), hlm.
211.
[5] Ibid.,
hlm. 287.
[6] Ibid.,
hlm. 216-217.
[7] Ibid.,
hlm. 286-287.
[8] Hasyim
Asy’ari, an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin, dalam buku
Sang Kiai, (Yogyakarta: Qirtas, 2005), lm. 11.
[9] Hasyim
Asy’ari, Risalah Ahlu as- Sunnah wa al-Jama’ah, (Jombang: Maktabah
Turats Islami, 1997), hlm. 5.
[10] Muh.
Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yoyakarta: Tiara
Wacana, 2003), hlm. 7-8.
[11] Hasyim
Asy’ari, Risalah…, hlm. 6-7.
[12] Ibid.,
hlm. 7-8.
[13]Ibid.,
hlm. 23-24.
[14] Hasyim
Asy’ari, at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan,
dalam buku Sang Kiai, (Yogyakarta: Qirtas, 2005), hlm. 239.
[15] Ibid.,
hlm. 16-17.
[16] Ibid.,
hlm. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar