Selasa, 10 April 2012

KH. HASYIM ASY'ARI

STUDI HADIS DAN ULUM AL-HADIS DALAM PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY'ARI
STUDI HADIS DAN ULUM AL-HADIS DALAM
PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY’ARI


A.     Pendahuluan
Dalam kata pengantar terhadap kitab tafsir al Quran, Tafhim al Qur’an, Khursid Ahmad membuka komentarnya dengan mengatakan, keunikan Islam terletak pada kenyataan bahwa agama ini mendasarkan diri pada sebuah kitab, yakni al-Qur’an. Demikian pula dengan umatnya. Jika Islam sebagai agama bersumber pada al-Qur’an dan kehidupan umatnya juga bersumbear padanya, maka kita melihat hubungan segi tiga al-Qur’an-Agama-Umat. Itu berarti: identitas, personalitas histories, kebudayaan dan peradaban kaum muslim itu, berasal dan dibentuk oleh al-Qur’an[1].
Permasalahan yang timbul kemudian adalah, seberapa jauh pemahaman seseorang terhadap kitab suci ini dan aplikasinya terhadap kehidupan sosial terutama kalangan masyarakat awam. Itu berarti, diperlukan orang-orang, yang dengan pengetahuan luas, mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an untuk ditransformasikan pada masyarakat. Satu diantara sekian orang itu adalah KH. Hasyim Asy’ari,  prototype ulama salaf yang menguasai berbagai ilmu agama secara mendalam.

B.     Mengenal Sosok KH. Hasyim Asy’ari
1.      Riwayat Hidup
Beliau lahir pada tanggal 14 Pebruari 1871, bertepatan dengan tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, di desa Gedang, 2 km sebelah utara kota Jombang, Jawa Timur. Nama kecilnya adalah Muhammad Hasyim. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari yang berasal dari demak, Jawa Tengah, pengasuh dan pendiri pesantren Keras Jombang (sekarang al-Asy’ariah). Ibunya bernama Halimah. M. Hasyim Sejak kecil tinggal dan dibesarkan di lingkungan pesantren Gedang yang diasuh oleh kakeknya, Kiai Utsman. Dari garis keturunan ibunya.[2]
Ia adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sampai umur lima tahun, beliau dalam asuhan orang tua dan kakeknya di persantren Gedang. Di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama Islam dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana in tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar.
Seperti yang sudah sedikit disinggung, bahwa pada tahun 1876, ketika K.H. Hasyim Asy’ari berumur enam tahun, ayahnya mendirikan pondok pesantren Keras, sebelah selatan Jombang. Hal ini merupakan suatu pengalaman yang kemungkinan besar mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Oleh karena itu jelaslah bahwa kehidupan masa kecilnya dilingkungan pesantran sangat berperan dalam pembentukan wataknya yang haus akan ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.[3]
Semasa hidupnya, ia mendapat pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan dibidang ilmu al-Qur’an dan literature agama lainnya, setelah berusia 14 tahun, ia menjelajah untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren terutama di pulau Jawa sendiri. Dan selam belajar di pesantren Siwalan, rupanya K.H. Hasyim Asy’ari adalah santri yang potensial dan sangat menguasai ilmu agama. Sehingga tidak lamu kemudian, tepatnya tahun 1303 H atau 1892 M, beliau dijadikan menantu oleh Kiai Ya’qub yang dijodohkan dengan putrinya Chadijah. Dan setelah menikah beliau bersama istrinya segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K.H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya untuk menuntut ilmu ke Mekkah.[4] Beliau wafat pada tanggal 7 Ramadlan 1366, bertepatan dengan tanggal 27 Juli 1947.[5]

2.      Keterlibatan Dalam Dunia Pendidikan[6]
Sepulang dari tanah suci, Hasyim langsung terjun di dunia pendidikan, ini tak lain karena kepentingan memperjuangkan agama yang sudah menjadi bagian hidupnya. Karena itu ia ingin mendirikan pesantren. Ketika tekad itu disampaikan kepada beberapa temannya dan pesantraean itu akan didirikan di daerah Teabuireng yang terletak jauh dari kota Jombang, teman-teman Hasyim tidak semuanya mendukung.
Mereka yang tidak setuju beralasan, bahwa daerah itu tidak cocok untuk didirikan pesantren bukan hanya jauh dari kota Jombang, tetapi merupakan daerah yang sangat tidak aman. Di sana bercokol masyarakat yang belum beragama dan adat istiadatnya bertentangan dengan perikemanusiaan, seperti merampok, berjudi, berzina dan berbagai kemaksiatan lainnya. Di sepanjang jalan menuju Tebuireng waktu itu  penuh dengan rumah-rumah prostitusi dan warung minuman keras.
Menghadapi kondisi seperti itu tekad Hasyim tidak surut, justru semakin mendorong semangatnya untuk  segera mendirikan pesantren di Tebuireng. Dia berprinsip,bahwa menyiarkan agama berarti memperbaiki masyarakat yang belum baik. Jika moral masyarakat sudah baik, maka apalagi yang perlu diperbaiki. Keputusan mendirikan pesantren baru ini dimaksudkan untuk menyampaikan ilmu yang telah diperoleh dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent social of change. Berdasarkan tujuannya ini dia ingin mengubah struktur dalam masyarakat. Dia memandang pesantren lebih dari sekedar tempat pendidikan ataupun lembaga moral dan religius, tetapi sebuah sarana penting untuk membuat perubahan yang berarti dalam masyarakat secara luas. Hal ini merupakan bukti dalam menghadapi kritik, dia menggunakan contoh kehidupan Nabi dan upaya-upaya yang dilakukan Walisongo dalam mengislamkan masyarakat Jawa, sebagai model yang bijak untuk meyakinkan para Kiai lain tentang perihal rencananya.

3.      Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asy’ari menyumbangkan banyak hal berharga bagi pengembangan peradaban. Diantaranya adalh sejumlah literature  yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis Kyai Hasyim yang terkenal adalah sebagai berikut:[7]
a.       Adab al-Alim wa al-Muta’alim Fima yahtaj ilail al-Muta’alim fi Ahwal   Ta’alum wa ma yatawaqaf ‘alaih al-Muta’alim fi Maqamat Ta’limi. Kitab yang membahas tentang tatacara mencari ilmu dan prilaku guru dan murid.
b.      Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mahzumat al-Syekh Abdullah bin Yasin al-Fasurani allati Bihujubiha ‘ala Ahl al-Jam’iyah Nahdlat al-‘Ulama. Kitab ini berisi tentang jawaban-jawaban KH. Hasyim Asy’ari terhadap pernyataan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan, yang dianggao beliau melemahkan warga Nahdlatul Ulama.
c.       al-Tanbihat al-Wajihat Liman Yashna’ al-Maulid al-Munkarat. Kitab ini berisi peringatan kepada para santri dan umat Islam terhadap hal-hal yang wajib bagi orang yang mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad dengan cara-cara yang mungkar.
d.      al-Risalat al-Jamiat, Sarh fiha Ahwaal al-Mauta wa Asyrath al-Sa’at ma’ bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab ini berisi tentang penjelasan-penjelasan orang yang meninggal dunia dan tanda-tanda hari kiyamat serta penjelasan tentang bid’ah dan sunnah.
e.       Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi Sarh Risalat al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al Anshari. Kitab ini merupakan penjelasan/ syarah atas risalah wali Ruslan karya Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
f.        al-Nur al-Mubbin fi Mahabbah Syayid al-Mursalin, Bain Fihi a’na al-Muhabbah li Rasul Allah Ma’wa yata’allaq Biha Man Ittiba’iha wa Ihya al-Sunnatih. Kitab ini berisi tentang makna cinta kepada Nabi Muhammad s.a.w dan hal-hal  yang mesti diikuti dalam rangka menghidupkan sunnahnya.
g.       al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqathi’ah al-Ikhwan, bian fih Ahammiyat Shillat al-Rahim wa Dzarrur. Kitab ini menerangkan  tentang pentingnya menjalin hubungan sillaturahim antar sesama muslim dan bahaya memutuskan sillaturrahin tersebut.
h.       al-Durar al-Muntatsirah fi al-Masail al-Tis’a Asyarat, Sarh fiha  Masalat al-Thariqah wa al-Wilayah wama Yata’allaq wa Umar al-Muhimmah li Ahl al-Thariqah. Kitab ini membahas 19 masalah thariqat.
i.         al-Risalat al-Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirah fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Kitab ini merupakan risalah kecil tentang ahlussunnah wal jama’ah.
j.        al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-Aqo’id. Kitab ini menerangkan tentang aqidah-aqidah yang wajib.
Mungkin masih banyak kitab-kitab lain yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari, tetapi belum berhasil diungkapkan, namun karya-karya di atas sudah cukup untuk mewakili karya-karya beliau.

C.     Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
1.      Pentingnya Mempelajari Hadis Nabi
Pada umumnya umat Islam berpendapat, bahwa hadis adalah sumber ajaran Islam ke dua yang berfungsi sebagai penjelas dari pada al-Qur’an. Karena tanpa menggunakan hadis nabi, maka ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an tidak akan dapat dimengerti secara utuh dan tidak dapat dilaksanakan secara kaffah (sempurna). Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam, maka perhatian umat Islam sejak zaman sahabat sampai sekarang begitu besar.
Pada kenyataannya salah satu ulama kharismatik di Indonesia, yaitu KH. Hasyim asy’arie sangat menekankan akan pentingnya mengkaji, memahami, serta mengamalkan apa yang telah diwariskan oleh nabi melalui hadis-hadisnya. Dalam hal ini kita dapat melihat salah satu karyanya yang berjudul an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin. Dimana di dalamnya berisikan tentang anjuran untuk meneladani nabi Muhammad, seperti; 1) wajibnya beriman, ta’at, berlaku Ikhlas, serta mencintai nabi Muhammad. Dalam hal ini beliau banyak –hampir keseluruhan kitab- menyitir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis nabi seperti:
(#qãZÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur ÍqZ9$#ur üÏ%©!$# $uZø9tRr& 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz
 Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Quran) yang Telah kami turunkan. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. at-Taghabun. 64:8).

    Abu Hurairah berkata: Nabi Muhammad bersabda, semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang membangkang, mereka bertanya, siapa orang yang membangkang ya rasul? Nabi menjawab, barang siapa taat kepadaku sungguh dia telah masuk surga, dan barang siapa mendurhakaiku sungguh dia telah membangkang. Allah telah menjadikan taat keapada rasul-Nya sama dengan taat kepada-Nya, dan Allah menjanjikan bagi orang itu pahala yang banyak, dan mengancam atas pembangkangannya dengan siksa yang pedih. Rasul mewajibkan umatnya mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari ketaatan kepda rasul itu dalam rangka menunjukkan komitmen kepada sunahnya dan pasrah dengan apa yang datang dari Tuhannya. Oleh karena itu umat Islam sepenuhnya dituntut untuk selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis nabi sebagai petunjuk dalam mengarungi bahtera kehidupan dengan selamat.[8]

2.      Perbincangan Tentang Sunnah dan Bid’ah
Dalam kitab Risalah Ahlu as Sunnah wa al-Jama’ah, KH. Hasyim menjelaskan uraiannya tentang sunnah, bahwa: Lafal as-Sunnah, dengan dibaca dhammah sin-nya dan ditasdid (dicampur) sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Baqa’, secara bahasa sunah berarti semua jalan yang diridlai ataupun tidak. Sedangkan menurut syara’ berearti suatu jalan yang benar yang telah praktekkan oleh Nabi SAW, dan orang-orang yang mengetahui tentang agama, seperti para sahabat ra. Penjelasan ini didasarkan kepada sabda Nabi yang berbunyi, “ Peganglah dengan kuat sunahku dan sunah Khulafa’ al-rasyidin sesudahku.” Adapun menurut ‘Urf (tradisi), Sunnah adalah sesuatu yang dipegang teguh seorang pengikut, baik nabi maupun wali.[9]
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa sunah menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari adalah norma ideal yang telah diamalkan oleh nabi, maupun para sahabatnya sebagai panutan untuk generasi selanjutnya. Sejauh pemahaman punulis, pendapat yang diungkapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah gambaran sunnah setalah mengalami perkembangan, dimana pada mulanya sunah adalah segala sesuatu –perkataan, perbuatan, ucapan- yang hanya disandarkan kepada nabi. Namun sepeninggal beliau, pemahaman sunah berkembang bimana segala sesuatu yang datang dari sahabat juga dimasukkan sebagai hadis karena sahabat adalah orang yang selalu bergaul denga nabi, mendengar sabdanya dan menyaksikan perbuatannya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan oleh ulama generasi sesudah sahabat pun –tabi’in- disebut juga dengan hadis.
Karenanya, di dalam ilmu hadis, ada pembedaan antara berita yang bersumber dari nabi, sahabat, dan tabi’in. dengan pemilahan seperti ini, maka hadis yang bersumber dari nabi disebut dengan hadis marfu’, yang bersumber dari sahabat disebut hadis mauquf, sedangkan yang bersumber dari tabi’in dikategorikan sebagai hadis maqthu’[10]
Sedangkan bid’ah menurut Syara’ adalah menciptakan hal-hal baru yang bukan termasuk bagian agama seolah-olah termasuk bagian dari agama. Pendapat ini didasarkan kepada hadis nabi s.a.w bahwa: “Siapa saja yang membuat hal-hal baru yang bukan termasuk bagian dari agama maka hal tersebut secara otomatis tertolak” dalam kesempatan yang lain nabi bersabda: “ setiap orang yang membuat hal-hal baru tentang urusan agama adalah bid’ah”.
Untuk lebih memperjelas tentang gambaran bid’ah, KH. Hasyim Asy’ari mengutip pendapat syeikh Zaruq yang memberikan parameter tentang bid’ah sebagai berikut:[11]
  1. Dilihat dari masalah yang diperbarui. Jika sejalan dengan syari’at Islam, maka yang demikian itu tidaklah disebut dengan bid’ah. Namun apabila masalah yang diperbarui tersebut sepenuhnya bertentangan dengan hukum Islam maka sesuatu tersebut tidak sah karna hal tersebut termasuk perkara bid’ah (mengada-ada).
  2. Mempertimbangkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang selalu berpegang teguh terhadap sunah, maka barang siapa yang argumennya tidak sejalan dengan yang digunakan oleh ulama salaf, maka hal tersebut adalah termasuk perbuatan bid’ah. Namun, apabila ada kesamaan maka perkara tersebut bisa diterima dan diamalkan.
  3. Harus sejalan dengan hukum-hukum Islam yang terperinci menjadi enam bagian: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf al-aula (berbeda dengan hukum yang lebih utama), dan mubah. Maka setiap perbuatan yang sejalan dengan hukum-hukum Islam tersebut tentu bisa diterima keberadaannya.
Lebih lanjut syeikh Zaruq menjelaskan tentang macam-macam bid’ah diantaranya adalah:[12]
  1. Bid’ah Sarihah, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa berpedoman kepada dalil syar’i. perbuatan semacam ini diciptakan bertujuan untuk menandingi sunah nabi agar pesan-pesan yang dikandungnya tidak dapat eksis.
  2. Bid’ah Idhafiah, yaitu segala suatu hal yang baru namun penciptaannya sejalan dengan hukum Islam, maka yang demikian itu dapat diterima keberadaannya.
  3. Bid’ah Khilafiah, yaitu segala inovasi yang didasarkan kepada dua sumber yang saling tarik-menarik antara keduanya. Dimana ada yang mengatakan hal tersebut adalah bid’ah, sedangkan yang lain menganggap hal tersebut adalah sunna, seperti dzikir jamaah.

3.      Pemahaman atas Hadis “Pecahnya umat Muhammad menjadi 73 golongan”
Sebagaimna telah diketahui, bahwa terdapat hadis nabi yang diriyawatkan oleh Imam Abu dawud, Tirmizi, dan Ibnu majah dari abu Hurairah tentang 73 golongan dan semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu golongan yang berpegang teguh kepada sunah nabi dan sahabatnya:
روى ابو داود والترمذى واٍبن ماجه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: اٍفترقت الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إثِنَْيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً, كلها في النار اٍلا واحدة, قالوا: ومن هم يا رسول الله؟ قال: هم الذين على الذى انا عليه واصحابي.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “orang Yahudi akan pecah menjadi 71 golongan, orang Nasrani akan pecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Sahabt bertanya, siapakah mereka wahai rasul? Beliau menjawab, mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada sunahku dan sahabatku.

Menanggapi hal ini KH. Hasyim Asy’ari banyak mencantumkan beberapa pendapat ulama, diantaranya adalah pendapatnya Abu Mansur ibnu Tahir at-Tamimi. Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya golongan yang dicela tersebut adalah golongan yang berbeda pendapat dalam masalah furu’iah al-fiqhiah yang berbeda dalam permasalahan halal dan haram, akan tetapi golongan-golongan yang dicela oleh nabi tersebut adalah golongan yang menentang kebenaran dalam masalah-masalah inti ke-tauhid-an, tentang baik dan buruk, kenabian, serta mereka yang berselisih pendapat tentang kasih sayang para sahabat nabi. Dengan alas an, bahwa orang-orang yang berselisih dalam beberapa permasalahan di atas akan mengkafirkan satu sama lain tanpa pertimbangan apapun. Berbeda dengan masalah yang pertama yang hanya berbeda pendapat dalam furu’iah al-fiqhiah, mereka akan berbeda pendapat satu sama lainnya tanpa men-fasiq-kan antara sesama.[13]
Dalam permasalahan ini, wajar ketika KH. HAsyim Asy’ari lebih cederung sependapat dengan Abu Mansur yang intinya lebih menekankan akan pentingnya persatuan umat tanpa harus mengkafirkan antara sesama, karena KH. Hasyim sendiri sangat memperhatikan akan hal tersebut. Sebagai bukti, beliau sempat mempunyai karya yang memusatkan perhatiannya akan pentingnya memperkuat hubungan silaturrahim dan larangan memutuskannya. Menurut beliau Allah telah menyukai siapa saja yang mempererat tali hubungan silaturrahim sebagai bentuk pendekatan diri kepada-Nya yang paling utama, sedangkan memutuskan tali hubungan persaudaraan antara sesame muslim adalah perbuatan yang paling dibenci oleh-Nya serta termasuk perbuatan yang paling keji.[14]

4.      Konsep Taklid Bagi yang Bukan Mujtahid
Pada pembahasan ini dijelaskan bahwa bagi siapa saja yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad atau menemukan solusi hukum yang baru bagi persoalam umat berdasarkan syariat Islam, maka mereka wajib mengikuti pendapat ulama yang kapabel dalam urusan agama. Sejauh pengamatan penulis, dalam hal ini KH. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada pendapat mayoritas ulama berdasarkan firman Allah:
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. an-Nahl, 16:43)

Ayat di atas memberikan arahan bagi siapa saja yang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai, seyogyanya tidak serta-merta berijtihad dalam menyelesaikan segala persoalan, melainkan mereka haruslah berkonsultasi kepada siapa saja yang lebih berpengalaman serta mempunyai kemampuan yang baik. Sehingga yang demikian itu tentunya akan lebih bermanfaat bagi umat manusia.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, Sejak masa sahabat dan tabi’in, ketika muncul permasalahan baru, mereka memohon fatwa pada para ulama mujtahid dalam masalah syari’at dan kemudian mereka mengikutinya. Sebagian ulama ada yang langsung menjawabnya tanpa harus menunjukkan dalil terebih dahulu, akan tetapi mereka juga tidak dilarang untuk menunjukkannya seketika. Oleh karena itu ulama telah bersepakat, bahwa orang awam haruslah berusaha semampunya untuk selalu mengaca kepada ulama atau cendikia yang mempunyai pemahaman lebih sempurna terhadap al-Qur’an dan sunah nabi. Akan tetapi menurut pandangan beliau orang awam tidak dituntut agar selalu mengikuti secara teguh satu mahzab untuk setiap persoalan. Melainkan boleh saja mereka mengikuti imam-imam yang lain. Seperti yang dicontohkan oleh beliau tentang diperbolehkannya mengikuti satu imam dalam salat dhuhur dan mengikuti imam yang lain dalam salat ashar.[15]
Namun demikian, KH. Hasyim Asy’ari memberikan arahan bagi siapa saja yang mencoba untuk taqlid agar selalu berhati-hati dan tidak semberono dalam memilih figur, karena kesalahan dalam memilih panutan yang baik akan memberikan dampak yang sangat buruk. Beliau memperkuat pendapatnya dengan memaparkan beberapa hadis ataupun ayat-ayat al-Qur’an. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah:
روى مسلم في صحيحه ان ابا هريرة رضي الله عنه يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يكون في أخر الزمان دجالون كذابون, يأتونكم من الأحاديث بما لم تسمعوا انتم ولا أباوءكم, فاٍياكم واٍياهم, لايضلونكم ولا يفتونكم.
 “Rasulullah bersabda, akan muncul di akhir zaman para Dajjal pendusta, mereka datang kepadamu semua dengan membawa hadis-hadis yang tidak pernah terdengar olehmu, begitu juga orangtuamu, maka jauhilah mereka, sehingga kamu tidak bisa mereka sesatkan dan mereka fitnah”.[16]


D.    Penutup

Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan beberapa poin penting yang menjadi catatan penulis diantaranya:
1.      Sepanjang pelacakan penulis terhadap hadis-hadis yang ada di dalam beberapa karyanya seperti; al-Nur al-Mubbin fi Mahabbah Syayid al-Mursalin; Risalah ahlussunnah wa al-Jama’ah; serta at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan KH. Hasyim Asy’ari kebanyakan tidak menyebutkan mata rantai perawi hadis, melainkan lebih menitik beratkan kepada matan hadis. Hal ini boleh saja terjadi karena pada masa itu apa yang dijelaskan oleh seseorang yang sudah dianggap tokoh masyarakat, lebih-lebih mempunyai gelar Kiai akan dipandang benar keberadaannya tanpa diperlukan sanad –dalam konteks kajian hadis-.
2.      Bahwa sesungguhnya KH. Hasyim. Asy’ari adalah salah satu figur ulama kharismatik yang benar-benar intens dalam membina moral dan intelektual masyarakat pada masanya, dimana pengetahuannya tentang masalah agama sangatlah mendalam. Salah satunya adalah pengetahuannya tentang hadis nabi yang ditorehkan dalam karya-karyanya.
3.      Menurut beliau hadis memiliki fungsi yang sangat penting setelah al-Qur’an dimana ia merupakan penjelas dari al-Qur’an.
4.      Beliau adalah seorang penulis produktif, dimana sebagian besar karyanya ia tulis dalam bentuk Bahasa Arab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti Tasawuf, Fiqh, dan Hadis. Dan sampai sekarang sebagian kitab ini masih dipelajari diberbagai pondok pesantern.
****



















DAFTAR PUSTAKA
Ahza, Shalahuddin Hamid dan Iskandar, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2003).
Asy’ari, Hasyim, an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin, dalam buku Sang Kiai, Yogyakarta: Qirtas, 2005.
_______, Risalah Ahlu as- Sunnah wa al-Jama’ah, Jombang: Maktabah Turats Islami, 1997.
_______, at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Yogyakarta: Qirtas, 2005.
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama’: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Masyhuri, Aziz, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Yogyakarta: Kutub, 2008.
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2002.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2003.


[1] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2002)
[2] Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: Intimedia, 2003), hlm. 1.
[3] Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama’: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 18.
[4] Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, (Yogyakarta: Kutub, 2008), hlm. 211.
[5] Ibid., hlm. 287.
[6] Ibid., hlm. 216-217.
[7] Ibid., hlm. 286-287.
[8] Hasyim Asy’ari, an-Nur al-Mubin fi Mahibbati Sayyid al-Mursalin, dalam buku Sang Kiai, (Yogyakarta: Qirtas, 2005), lm. 11.
[9] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlu as- Sunnah wa al-Jama’ah, (Jombang: Maktabah Turats Islami, 1997), hlm. 5.
[10] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yoyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 7-8.
[11] Hasyim Asy’ari, Risalah…, hlm. 6-7.
[12] Ibid., hlm. 7-8.
[13]Ibid.,  hlm. 23-24.
[14] Hasyim Asy’ari, at-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, dalam buku Sang Kiai, (Yogyakarta: Qirtas, 2005), hlm. 239.

[15] Ibid., hlm. 16-17.
[16] Ibid., hlm. 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar