menjadi muslim secara kaffah
Menjadi
Muslim scara kaffah menuju Sikap Humanis-Religius
Term muslim
biasanya dimaknai secara umum oleh masyarakat sebagai orang Islam. Pemaknaan
tersebut diambil dari kata Islam sebagai “kata benda” (Masdar), sedangkan muslim adalah pelaku (Isim Fa’il). Prof. Dr. Yudian Wahyudi menyatakan bahwa secara etimologis, Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islam-salam atau salamah, yaitu tunduk kepada kehendak
Allah swt. agar mencapai salam/salamah
(keselamatan atau kedamaian) di dunia dan akhirat. Prosesnya disebut Islam dan pelakunya disebut muslim. Jadi, Islam adalah proses bukan
tujuan, yakni proses mencari keselamatan di dunia dan akhirat.
Muslim
holistik atau muslim kaffi merupakan
sebuah proses ketundukkan seseorang terhadap perintah Allah, sehingga dalam
al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk memasuki agama Islam secara
kaffah/sempurna. (al-Baqarah [2]: 208)
Konsep
muslim holistik merupakan perpaduan antara ketundukan manusia kepada 3 ayat
Allah, yakni: ayat Qur’aniyah, Kauniyah,
dan Insaniyah. Ketiga ayat tersebut
merupakan kehendak Allah yang harus ditaati untuk menghantarkan manusia kepada
keselamatan dan kedamaian dunia sampai akhirat.
Pertama, ayat Qur’anyiah atau Ayat Qauliyah, yang terangkum dalam
al-Qur’an dan al-Hadis/as-Sunnah. Dalam kepatuhan pada ayat Qur’aniyah, hukum
yang terpenting adalah tauhid (keesaan Allah), Akhlak (moralitas), dan keadilan
(hukum kepasangan positif dan negatif atau maslahat
dan mafsadat). Fungsi terbesar akidah “Tiada Tuhan selain Allah” adalah sebagai
kunci ketika menyeberangi dunia menuju akhirat, sedangkan syirik sebagai satu-satunya
dosa yang tidak dapat diampuni Allah, kecuali dengan taubat nasuha (benar-benar
taubat). Orang yang tunduk kepada ayat Qur’aniyah disebut muslim teologis.
Kedua, ayat
Kauniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di
Jagat raya (kosmos). Tanda kebesaran
Allah yang terpenting di sini adalah hukum kepasangan yang dititipkan Allah
pada setiap benda alamiah. Sunnatullah
atau takdir Allah (hukum alam) ini memegang peran kunci dalam menentukan
keselamatan atau kedamaian di dunia. Islami
pada tingkat alam adalah menyeimbangkan potensi negatif dan potensi positif
setiap benda. Islami di sini ditarik
sampai pada titik memaksimalkan potensi positif dan meminimalkan potensi
negatif suatu benda. Hukum alam ini berlaku bagi siapa saja tanpa mengenal
batas-batas kemanusiaan apapun seperti ras, agama, dan status sosial. Pada
tingkat alam inilah semua agama sama, karena siapa pun yang melanggar hukum
kepasangan ini pasti dihukum Allah seketika. Sebaliknya, siapapun yang taat
(tunduk pada hukum kepasangan ini), pasti diberi pahala oleh Allah, yaitu
keselamatan (di dunia). Misalnya, jika ada seorang Islam, Yahudi, Kristen,
Budha, atau Hindu, menyeberangi Laut Selatan dengan berenang (tanpa alat
renang), pasti dia akan dihukum oleh Allah. Dia akan tenggelam dan mati.
Sebaliknya, jika ada orang komunis (Ateis) menyeberangi Laut Selatan dengan
kapal, maka dia akan selamat sampai tujuan. Karena pada hakikatnya, si komunis
adalah muslim alamiah, sebab dia
beriman kepada hukum kepasangan sebagai hukum terbesar yang “mengatur”
kehidupan kosmos, sehingga dia
mencapai keamanan (seakar dengan iman). Seperti
halnya Islam, Iman adalah proses yang tujuannya adalah aman atau safety, dalam
bahasa Indonesia menjadi keamanan. Keselamatan dan kedamaian atau keamanan di
sini hanya pada tingkat kosmos atau
duniawi. Untuk menyeberangi akhirat dibutuhkan kunci: Tauhid.
Ketiga, ayat
Insaniyah, tanda-tanda kebesaran atau hukum-hukum Allah
yang mengatur kehidupan manusia (kosmis). Hukum yang
terpenting di sini ialah hukum kepasangan. Islam dan Iman (sehingga selamat dan
aman) pada tingkat ini adalah menyeimbangkan potensi positif dan negatif, yaitu
menciptakan keseimbangan atau keadilan sosial. Allah sudah mendelegasikan hukum
keseimbangan ini kepada mausia seperti tercermin dalam hadis “kerelaan Allah
tergantung pada kerelaan manusia (orang tua).” Hukum ini diperkuat dengan
prinsip mutual agreement (عَنْ تَرَاضٍ). Kesalahan sosial
harus terlebih dahulu diselesaikan antara pihak-pihak terkait. Jika terkait
belum memaafkan, Allah juga belum mengampuni. Orang yang mentaati hukum
insaniyah disebut muslim
insaniyah.
Menjadi Muslim Holistik menuju Sikap
Humanis-Religius
Jadi, Islam adalah Tauhid, yaitu
mengintegrasikan kehendak Allah yang ada di dalam kitab suci (ayat
Qur’aniyah/Qauliyah), alam (ayat Kauniyah), dan manusia (ayat Insaniyah),
sehingga terbebas dari bencana teologis,
kosmos, dan kosmis. Inilah yang
disebut takwa yang puncaknya sering disebut ihsan, yaitu proses kesadaran
menghadirkan Tuhan di mana pun (pada tingkat teologis, kosmos, dan kosmis)
dan kapanpun. Inilah yang disebut Islam
Kaffah (Holistik) atau menjadi Insan
Kamil.
Kehidupan seorang muslim holistik akan selalu
menyeimbangkan antara hubungan vertical
dengan Allah dan hubungan horizontal
dengan manusia maupun alam. Secara teologis,
dia taat kepada perintah Allah, dan secara social,
dia bersikap humanis, ramah, dan menghormati orang lain dan menjaga alam
sebaik-baiknya. Dari sinilah, muncul sikap humanis-religius.
Humanis-Religius adalah sikap yang
mengedepankan sisi-sisi kemanusian dan nilai-nilai religi (agama). Integrasi
antara keduanya merupakan perwujudan dari seorang muslim holistik.
Dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa fungsi diciptakan manusia adalah sebagai khalifah di
muka bumi. Seorang khalifah memegang amanah Allah untuk memelihara alam,
penebar rahmat, dan pencipta keadilan bagi semua makhluk. Muslim holistik
dengan semangat humanis-religius
merupakan perwujudan yang sempurna seorang khalifah, sebab, dia dapat mengintegrasikan
antara kehendak Allah dalam kitab suci, alam, dan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar