KHHasyim Muzadi: Saya Ingin NU Seperti Republik bukan Kerajaan
Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-32, di Asrama Haji Makassar,
Sulawesi Selatan, pada 25-31 Januari 2009. Seperti biasanya, Muktamar selalu
menjadi sorotan publik karena posisi NU sebagai organisasi terbesar di
Indonesia. Bagaimana persiapan Muktamar tersebut dan masalah apa saja yang akan
dibahas, berikut wawancara Wartawan
NU Online, Arief
Hidayat, dengan Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, beberapa waktu
lalu.
Bagaimana persiapan Muktamar dan apa saja yang akan dibahas?
Tema Muktamar kali ini adalah Meningkatkan
Khidmah Nahdliyah untuk Indonesia yang Bermartabat. Ada dua hal pokok dari
tema tersebut. Pertama, peningkatan kualitas pelayanan terhadap umat. Kedua,
mendorong bangsa ini agar mengangkat martabatnya. Untuk mencapai ke sana
diperlukan perbaikan internal dan sumbangsih NU yang konkret terhadap bangsa
dan negara secara konprehensif.
Agar pelayanan NU kepada umat berhasil,
diperlukan pengkondisian awal, yaitu perbaikan struktur dan kualitas struktur.
Syuriyah PBNU harus menjadi lembaga tertinggi yang efektif sebagai lembaga
tertinggi. Hal ini menyangkut masalah syariat, bimbingan umat, dan pengendali
gerak jamiyah. Untuk itu, Syuriyah perlu diisi oleh tenaga yang berkapasitas
tinggi, bukan hanya yang ditinggikan.
Misalnya, di Syuriyah harus ada beberapa unsur.
Pertama, unsur ahli syariat. Beliaulah yang bertanggung jawab tentang fatwa, bahtsul
masail dan ahkamul fuqoha’. Dengan demikian, diperlukan ahli
hukum syariat (faqih). Kedua, unsur kiai yang ahli riyadhoh dan
tirakat yang dengan bashiroh-nya memberikan bimbingan rohani, doa, dan
wirid kepada umat pada saat-saat diperlukan karena kondisi.
Ketiga, perlu ada unsur yang memahami masalah
kenegaraan secara utuh dan mendalam. Kalau tidak, hubungan NU dan negara tentu
tidak serasi. Akibatnya, NU sulit mewarnai negara, karena hanya akan mendapat
akibat dari ekses-ekses politik kenegaraan. Keempat, perlu ada unsur manajemen,
sains dan teknologi.
Jika unsur-unsur tersebut bisa dikombinasikan
akan menghasilkan lembaga Syuriyah yang berfungsi sebagai lembaga tertingi NU
yang efektif.
Apa selama ini belum seperti itu?
Iya dalam wacana, tapi dalam praktik belum
optimal. Karena beberapa faktor, seperti jarangnya pertemuan, serta faktor
teknis lainnya. Sehingga perlu ada penajaman kembali.
Kemudian, Tanfidziyah harus menjabarkan
nilai-nilau luhur NU, serta melaksanakan keputusan-keputusan Syuriyah dalam
strategi langkah dan tata laksana teknis. Misalnya, dalam bidang pendidikan,
dakwah, ekonomi, dan politik. Politik di sini tidak dalam arti politik praktis
(parpol), tapi moral politik keagamaan, kebangsaan dan keumatan.
Dengan demikian, kombinasi antara keduanya dalam
program dan tata kerja, akan mampu meningkatkan pelayanan masyarakat secara
komprehensif, seperti pelayanan pendidikan, hukum, ekonomi dan lain-lainnya.
Bagaimana dengan Khittah NU 1926?
Khittah sebagai patokan tidak perlu diubah, namun
khusus masalah kebebasan memilih, perlu ukuran-ukuran dalam tata laksananya.
Sebenarnya Khittah terdiri dari tiga bagian
penting. Pertama, bagian yang mengatur jatidiri NU. Bahwa NU menganut ajaran
Islam Ahslusunnah wal Jamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam Empat.
Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam
bidang Akidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam visi NU dan manhaj perjuangan
menggunakan garis moderasi atau wasathiyah, tidak ekstrim (tathorruf),
baik ekstrim keras maupun ekstrim lunak. Ekstrim keras menggunakan teror dan
formalisasi agama. Di lain pihak, ekstrim lunak melakukan liberalisasi
pemikiran agama yang semata-mata yuhakkimuna bi’uqulihim. Padahal, ekstrimisasi
agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, bahkan bisa
keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.
Bagian kedua tentang kemandirian. NU adalah
organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apa pun, baik ormas maupun partai.
Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi
mungkar, tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula
merupakan oposisi terhadap kekuasaan. NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan
yang kuat.
Bagian ketiga, kebebasan menentukan pilihan.
Dulu, ketika Khittah dilahirkan tahun 1984, kita hanya memilih satu dari tiga
partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU
menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai. Selain itu, kita
tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang. Perkembangan ini perlu
diperhatikan oleh Muktamar, sehingga kebebasan memilih seimbang dengan tanggung
jawab pilihan itu. Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih
diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih
secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan
menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada
agama, umat dan Allah.
Saat ini, khittah sedang disalahpahami oleh warga
NU sendiri, seakan-seakan khittah yang benar adalah tidak berbuat apa-apa,
sehingga membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama Khittah.
Sementara, kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak Khittah.
Tentang partai yang berbasis NU, bagaimana?
Idealnya, mayoritas orang NU punya pilihan
politik sekalipun tetap membuka kemungkinan kader-kader NU bebas ada di
mana-mana. Jadi, ada ‘perahu’ besar dan ada ‘sekoci’. Pikiran ini berkembang di
NU tahun 1998. Tetapi perkembangan selanjutnya, terjadi kerenggangan antara
umat NU dan partai-partai yang berbasis NU disebabkan karena lemahnya faktor
amanah, sistem berpolitik, sistem pengkaderan dan rekrutmen. Kerengangan ini
kemudian dimasuki segala partai ke dalam umat nahdliyin. Mereka membawa tawaran
pragmatisme sehingga terjadi penyusutan terus menerus dalam volume dan kualitas
partai yang berbasis NU.
Dalam hal seperti ini, bagaimana Muktamar
menyikapinya, serta mengatur rekomendasi-rekomendasinya. Ataukah sama sekali
Muktamar tidak menganggap perlu, sehingga dibiarkan seperti ini, yang insya
Allah partai berbasis NU akan semakin kecil.
Lalu, bagaimana sesungguhnya NU
menghadapi terorisme?
Teror baru terjadi 10 tahun terakhir. Sebenarnya,
sebab utamanya adalah konflik global, yakni terjadinya pertikaian Barat dengan
Timteng yang dipicu masalah Israel. Ketika hal tersebut terjadi, Indonesia
mengalami euforia reformasi sehingga terjadi demokratisasi dosis tinggi yang
merenggangkan batas Indonesia. Sehingga para ekstrimis masuk ke Indonesia dan
mereka melawan AS dari Indonesia, dan merusak keamanan Indonesia. Sehingga
teror bukan watak domestik Indonesia. Kalaupun ada orang Indonesia terlibat
teror, hal tersebut karena dilibatkan dalam jaringan teror internasional.
Dalam hal menangatasi teror tersebut, di skala
nasional dengan cara membendung pemikiran ekstrim Islam, mengembangkan garis
moderasi NU, bekerja sama dengan ormas Islam moderat, menggandeng kekuatan
lintas agama, agar tidak tersulut teror kemudian dikerjasamakan dengan pihak
pemerintah dalam unsur intelijen, security (Polri), kewilayahan (Dedagri). Pada
penanganan kasus teror masa lalu, terbukti kerja sama ini efektif. Kemudian
dalam teror belakangan, koordinasinya kurang mantab.
Dalam skala internasional, NU menggunakan ICIS
(International Conference of Islamic Scholars) yang ternyata selama 7 tahun
terakhir telah diterima baik oleh dunia internasional, Timur Tengah maupun
negara-negara Barat. Bahkan, perkembangan selanjutnya cukup menggembirakan
karena ternyata NU diminta hampir seluruh dunia untuk ikut meredakan
ketengangan, konflik dan teror. Misalnya, ketegangan di Thailand (konflik
muslim, Thailand Selatan dengan pemerintah Thailand), Philipina Selatan
(konflik Mindanau), Aljazair (ketegangan Aljazair dan Syahrawi Selatan), Syria
(ketika Presiden Syria dituduh pihak Barat terlibat pembunuhan Perdana Menteri
Libanon, Hariri), Iran (ketika dihukum oleh PBB karena proyek nuklir, Sudan
(ketika Presiden Sudan akan diadili lembaga kriminal internasional), juga Korea
Selatan (ketika relawannya disandera oleh gerilyawan di Afganistan), peredaan
konflik Sunni-Syiah di Irak (dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional
di Bogor tahun 2007), konflik Hamas dan Fatah yang kita mencoba meredakannya
bersama Menlu Hasan Wirayuda dan (Almarhum) Ali Alatas di kamp pengungsian
Panglima Hamas Khaled Meshal di Damaskus, peredaan konflik Australia dengan
Indonesia sebagai akibat kasus Bom Bali. Juga pada ledakan WTC di Amerika Serikat,
NU organisasi Islam pertama yang meninjau Ground Zero di New York, dan
sebagainya.
Selain melalui ICIS, posisi saya sebagai presiden
WCRP (World Conference on Religions for Peace) cukup efektif untuk kerja sama
dengan PBB dan agama-agama pada tingkat dunia. PCI (Pengurus Cabang Istimewa)
NU di seluruh dunia, juga dapat digunakan untuk memfasalitasi
pertemuan-pertemuan antara NU dengan pihak dunia.
Anda menyatakan tidak maju lagi sebagai
Ketua Umum PBNU, mengapa?
Sebenarnya pikiran saya untuk tidak maju lagi
sebagai ketua umum PBNU telah ada sejak 1 tahun yang lalu. Alasannya, karena
saya sudah memimpin NU 10 tahun. Dan, teman-teman lain di belakang saya sudah
saatnya menjadi ketua umum.
Kalau sejak setahun lalu, berarti tidak
ada kaitannya dengan desakan sejumlah orang yang meminta Anda mundur?
Saya tidak terbiasa mengambil keputusan karena
ditekan. Kalau saya mempunyai kebiasaan menyerah karena ditekan, tentu saya
tidak akan menjadi Ketua Umum PBNU dua periode dan membawa NU ke dunia yang
penuh risiko dan tantangan pada tingkat nasional dan internasional.
Apalagi, saya tahu tekanan-tekanan untuk memundurkan saya adalah bagian dari
afonturasi dan kemauan orang luar. Masalahnya adalah tidak baik buat saya untuk
menjadi sumbatan perkembangan dari teman-teman saya sendiri, sekaligus
membangun kebiasaan demokrasi republik bukan kerajaan.
Kalau ada orang NU bergerak, misal, atas pesanan
orang luar, apakah sama dengan melanggar Khittah?
Iya, karena hal tersebut sama dengan menghilangkan prinsip kemandirian sebagai
prinsip kedua dari khittah 1984. Kalau masalah coblosan (pemilu) sebenarnya
adalah bebas, tapi sering orang mempersoalkan perbedaan yang sah itu. Malah
anehnya, kalau saya mendukung calon, kemudian jadi, seperti di Jakarta (Fauzi
Bowo), saya dianggap tidak melanggar Khittah. Tapi, di Jawa Timur karena
Khofifah tidak jadi, dianggap melanggar Khittah.
Apa harapan Anda terhadap ketua umum PBNU mendatang?
Saya ingin NU berjalan di atas sistem, tidak
selera perorangan atau kelompok orang. Maka Muktamar ke-32, harus mampu
meletakkan rel untuk NU. Sehingga siapa pun yang memimpin, bukan mengubah
haluan, tetapi melanjutkan tahap demi tahap perkembangan NU. Itu baru mungkin
terjadi, jika prinsip-prinsip dalam NU diwadahi dalam sistem yang sehat,
dijalankan oleh pemimpin yang benar-benar NU, baik secara ideologis,
organisatoris, maupun pengabdian masyarakat.
PBNU yang akan datang harus mampu membedakan dalam realita tindakan
organisatoris, antara NU dan liberal, serta NU dan ekstrimis, sehingga dapat
dibedakan antara pengembagan pemikiran (tanmiyah) dengan pembelokan pemikiran (inkhirof),
di samping PBNU harus mampu menjaga kemandirian NU, serta menjaganya dari
oportunasi adan avonturisme dari mana pun.
Belakangan ini muncul suara: PBNU tidak berprestasi. Apa komentar Anda?
Saya sering dikritik karena dianggap tidak
merawat anak muda. Itu tidak masalah, tetapi pesantren saya itu pesantren
mahasiswa yang isinya anak-anak muda. Bagi saya bukan soal tua atau muda, tapi
pola pikirnya. Kalau benar, tua atau muda, saya oke. Kalau salah, tua atau
muda, saya tidak oke.
Sekarang saya diributi karena saya dianggap tidak
berhasil, ya, biarkan saja. Setiap Muktamar itu biasa terjadi. Biasanya yang
meributi saya itu tidak jelas prestasinya. Tapi, merasa hebat, seakan-akan orang
yang meributi di atas orang yang diributi. Padahal, keahliannya, ya, meributi
itu. Sekarang, untuk menunjukkan prestasinya mereka menggunakan sistem
“manohara”, yaitu manover dan huru hara. Dengan manohara itu mereka seakan-akan
sangat berprestasi, padahal tidak. Pada Muktamar nanti, prestasi PBNU akan
dilaporkan semua. Dari situ bisa dinilai, PBNU berprestasi atau tidak.
Dibandingkan lima tahun yang lalu, pendidikan
kita sudah lumayan meningkat, sekalipun diukur sebagai kebutuhan masih kurang.
Kita sudah punya sekolah unggulan, misalnya, Khodijah di Surabaya. Dalam bidang
kesehatan, rumah sakit NU sebenarnya belum cukup, tapi dibanding 5 tahun lalu,
peningkatannya sudah 350 persen. Dulu banyak cabang NU yang tidak punya rumah
sakit, sekarang banyak sekali.
Kalau tidak menjadi Ketua Umum PBNU, apa
Anda akan tetap berjuang untuk NU?
Mengabdi untuk NU tidak selalu harus menjadi
pengurus. Saya membuat pesantren itu sama dengan mengabdi untuk NU. Kalau
pesantren Al Hikam bisa mengembangkan pemikiran NU ke dunia luar, itu juga sama
dengan mengabdi pada NU. Saya ingin Al Hikam, Depok, itu bisa mengembangkan
pemikiran NU ke seluruh dunia.
Secara subtansial, mungkin itu sulit dilakukan
ketika saya ada di dalam struktur NU. Karena struktur ini terikat dengan berbagai
jaringan. Terus terang saja, selama menjadi ketua umum, obsesi saya belum bisa
keluar semua, karena khawatir tidak cocok dengan NU. Misal, saya punya sepuluh
obsesi, yang keluar mungkin enam dan yang empat disimpan sebagai memori. Saya
sebagai ketua umum, seperti supir truk gandeng yang tidak boleh ngebut. Kadang
kepala sudah masuk tapi ekornya belum. Karena itu, saya harus hati-hati. Kalau
saya tidak jadi ketua umum, saya bisa turun langsung kemudian naik motor tril
dan langsung ngepot. Semua obsesi saya yang sepuluh pun secara optimal
akan keluar sepuluh.
Misal, saya yang ketua umum PBNU mau menulis
tentang hubungan partai dengan negara yang tidak ada standarisasi atau segala
macam tulisan, saya bisa dicibir orang. Ketua umum kok seperti itu. Ketika saya
tidak menjadi ketua umum, malah bisa.
Saya menjadi pengurus NU sudah 45 tahun, nonstop
dan terus menerus. Tahun 1964, saya menjadi ketua GP Ansor Bululawang, Malang,
kemudian naik menjadi ketua NU Ranting Bululawang, itu terus di MWC, pengurus
cabang, pengurus wilayah hingga ke PBNU. Jadi, saya tidak mungkin tidak berbuat
untuk NU hanya karena tidak menjadi pengurus. Efektif atau tidak orang di NU,
tidak diukur ada atau tidak di struktur, tapi diukur oleh apa yang ada di
kepala orang untuk disampaikan demi kebaikan NU dan umat.
Kira-kira figur yang tepat untuk
menggantikan Anda?
Kalau figur, sebaiknya saya tidak bicara. Kalau
saya bicara figure, dikira ikut sana atau sini. Kalau kriteria, ya, mereka yang
bisa mempertahankan jatidiri NU lalu mengembangkannya sesuai dengan
perkembangan tanpa keluar dari akar pemikiran NU.
Dalam AD/ART NU, ada aturan siapa yang berhak
mencalonkan diri sebagai calon ketua umum. Kalau ada figur yang tahu-tahu
datang untuk menjadi ketua umum, memenuhi syarat atau tidak sebagai calon yang
diatur AD/ART. Ini dari segi formal saja, belum dari segi visi dan orientasi
agama, serta subtansi perjuangan.
Soal majunya Ulil Abshar, yang selama ini
dikenal liberal?
Ya, dicocokkan saja dengan AD/ART. Dia sudah
memenuhi syarat untuk maju sebagai ketua umum atau tidak. Siapa yang disebut NU
atau tidak itu sudah ada di AD/ART.
Tantangan NU ke depan?
Tantangan yang dihadapi NU ke depan bersifat
konprehensif. pertama, tantangan ideologis, kanan dan kiri. Kanan ini ada dua,
ada yang bersifat agamis, ada yang agamis politis. Tantangan agamis yaitu
banyaknya kelompok-kelompok Islam yang baru. Kalau tantangan yang agamis
politis, seperti PKS.
Lalu, kedua, tantangan politis. Masihkah NU mau
bermakna politis, meskipun bukan partai politik. Apakah sayap politik yang ada
dibenahi atau dibiarkan saja.
Tantangan ketiga, mampukan NU menjaga kemandirian
dari kooptasi luar NU. Sebagai organisasi terbesar, tidak mungkin orang lain
tidak berkepentingan dengan NU, baik secara nasional maupun internasional.
Kepetingan orang lain terhadap NU itu ada tiga macam. Ada yang senang sehingga
mendukung, karena faktor moderasinya. Ada yang acuh saja karena memang
dipandang tidak bahaya. Ada yang tidak suka karena faktor Islamofobia atau
faktor ditakutinya kristalisasi politik yang akan timbul di NU. Yang membentur
kepada NU selama ini tiga macam itu.
Apa yang akan dilakukan NU agar bisa
menghadang tantangan itu?
Tinggal PW dan PC punya imunitas terhadap
intervensi dan kooptasi atau tidak? Saya yakin imunitas itu masih ada. PW dan
PC punya tanggung jawab dunia dan akhirat soal selamat atau tidaknya NU.
Tanggung jawab itu tidak lagi pada Hasyim Muzadi, pada Muktamar nanti sudah
beralih kepada yang punya pilihan, yakni PW dan PC.
Karena itu, saya berharap PW dan PC meneliti
betul siapa yang akan dipilih. Sehinga jelas, apakah orang itu jelas mau
melanjutkan perjuangan NU, atau menjadi bagian kemauan orang lain yang
dimasukkan ke NU. Membedakan ini semua, PW dan PC harus punya kecerdasan,
ketelitian dan nurani, karena akan berhadapan dengan “manohara” dan uang.
Di zaman yang pragmatis, “Ketuhanan Yang Maha
Esa” bisa kalah dengan “keuangan yang maha kuasa”. Gampangnya, kalau
berdasarkan cerita Al-Qur’an, seperti tentara Tholut melawan tentara Jalut di
tengah kehausan melewati sebuah sungai. Barang siapa meminum air sungai itu
tidak akan kuat melawan Jalut, kecuali hanya membasahi tenggorakan. Ternyata
mayoritas mereka minum sebanyak-banyaknya. Akhirnya mayoritas mengatakan, hari
ini tidak ada kekuatan kami melawan Jalut dan bala tentaranya. Karenanya,
Muktamar ini ada di simpang jalan, apakah NU mampu mempertahankan jati dirinya,
atau cukup sekian.[]