Jumat, 16 Maret 2012

ASWAJA


Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis
Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.

Pada zaman rosullah memang tidak ada perpecahan diantara para sahabat, namun sebagai mukjizat rosul, beliau telah mengetahui perpecahan yang akan terjadi pada zaman setelah wafat beliau, maka beliau sarankan dan menggariskan golongan selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran khulafaurrosyidin dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah rosul, dan sunnah para sahibatnya.

Ternyata terbukti, setelah beliau wafat umat Muhammad Saw telah mengalami perpecahan, yang pada awal-awalnya dipicu oleh beberapa sebab:
1. perbedaan tentang wafat rosul Saw. Sebagian berpendapat bahwa Muhammad Saw. Tidak meninggal, namun diangkat sebagaimana Nabi Isa As. Namun perpecahan menjadi hlang ketika Abu Bakar as- Shiddiq menyampaikan firman Allah:انك ميت وانهم ميتون  (الزمر: 30)                           
وقال لهم من كان يعبد محمدا فان ممدا قد مات ومن كان يعبد رب محمد فانه حي لايموت
2. perbedaan tentang pemakaman Rosullullah Saw. Ahli mekah menginginkan dimakamkan dimakkah, karena merupakan tempat kelahirannya. Sementara ahli Madinah menginginkan dimakamkan di Madinah sebagai tempat Hijrahnya dan tempat tinggal sahabat anshor. Sementara pihak ketiga menginginkan dimakamkan di Baitul Maqdis, karena merupakan makam nenek moyangnya, yaitu Nabi Ibrohim AS. Perpecahan ini telah selesai dengan keputusan yang diambil Abu bakar as-shidiq dengan menyitir hadis Rosullullah Saw. :ان الانبياء يدفنون حيث يقبضون               
3. perselisihan tentang imamah (kepemimpinan) yang diawali dari penetapan golongan kaum anshor untk membai’at Sa’ad bin Ubadah sebagai kholifah. Ketika kaum muhajirin mengetahui perkumpulan mereka, kaum muhajirin yang dipimpin oleh Abu Bakar, Umar, Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum anshor sehingga terjadi perdebatan sengit, karena kaum anshor menginginkan agar kaum muhajirin punya pimpinan sendiri dan kaum anshor punya pimpinan sendiri. Akhirnya persengketaan berhenti ketika abu baker berkhutbah/ berpendapat:
 نحن الامراء وانتم الوزراء الائمة من قريس   
Kami (bangsa qurais) adalah pemimpin, sedang golongan Muhajirin menjadi menteri (pembantu)
Karena imamah ditetapkan dari golongan qurais, maka dibai’atlah Abu Bakar as-shidiq sebagai kholifah. Setelah Abu baker wafat pada tanggal 8 Jumadil akhir 13 H. maka Sayyida Umar bin Khottob menggantikan Abu baker sebagai kholifah karena wasiat dari Abu Bakar.

Namun setelah wafatnya kholifah Umar ra. Pada tanggal 14 dzulhijah 23 H. yang terbunuh oleh Abu Lu’lu’ al majusi ketika sholat subuh, maka terbai’atlah Ustman bin Affan setelah Umar menyerahkan urusan pengangkatan pengantinya kepada enam sahabat, yaitu Ali bin Abi tholib, Usmant bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqosh, abdurrohman bin Auf dan Tholhah bin Ubadah.

Ironisnya, setelah dipilihnya Ustman bin Affan sebagai kholifah, muncul golongan yang tidak puas dengan kepemimpinan Ustman, sehingga sengaja memecah belah persatuan umat islam dengan mengadakan pemberontakan sampai terbubunhnya Sayidina Ustman ketika sedang membaca Al-qur’an di kediaman beliau, pada bulan dzulhijah 35 H.

Dari sinilah cikal bakal perpecahan umat islam, sehingga umat islam terpecah menjadi 3 golongan: 1. golongan yang mendukung pemberontakan terhadap Usman, 2. golongan yang menentang pemberontakan terhadap ustman, 3. golongan yang tidak mendukung dan tidak menentang (abstain)

Ketika kholifah Ali bin Abi tholib dibai’at oleh golongan ahli madinah, maka muncul perbedaan yang sangat tajam diantara umat islam disebabkan terbunuhnya Ustman, yang kemudian memunculkan beberapa golongan:
  1. golongan yang menuntut pengusutan darah ustman untu dilakukan qisosh terlebih dahulu sebelum ada kholifah pengganti. Mereka mayoritas terdiri dari orang-orang yang ekat dengan ustman, dipimpin oleh Mu’awiyah bin abi sofyan yang diikuti pembesar sahabat seperti Tholhah, Zubair, A’isyah, Amru bin Ash
  2. golongan yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah membentuk kholifah terlebih dahulu, baru emngusut pembunuhan Ustman dengan membentuk tim khusus. Mereka adalah Sayidina Ali bin Abi Tholib dan para sahabat yang sependapat dengannya
  3. golongan yang menganggap bahwa pemerontakan serta pembunuhan Sayidina Ustman telah procedural sehingga tidak perlu adanya qisosh.

Persengketaan diantara mereka tidak dapat dipadamkan dan tidak dapat diselesaikan dengan damai, Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Kubu mu’awiyah dan sahabatnya mengajak damai  kubu Ali dengan tahkim (diselesaikan dengan juru Hakim) yang ditunjuk oleh kedua belah kubu.  Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Pada awalnya Ali menolak tahkim, karena itu dianggap langkah politik dan sikap Ali ini didukung oleh golongan Khowarij. Namun atas desakan para sahabat senior yang arif dan bijaksana, akhirnya Sayidina Ali menerima tawara tahkim dengan mengajukan seorang sufi, yaitu Abu Musa al-asy’ari dan dari fihak Mu’awiyah mengajukan Amr bin Ash. Namun ironisnya , keputusan yang diambil dari kedua belah utusan tersebut tidak membuahkan perdamaian, karena keduanya memutuskan agar Ali dan Mu’awiyah sama-sama turun dari jabatan dan mengangkat kholifah (sosok pemimpin) yang disepakati para muslimin. Tapi setelah masing-masing kelompok telah mengajukan calon, masih belum juga ada sosok pemimpin yang disepakati. Disinilah strategi  politik Amr bin Ash karena pihak Ali yang diwakili oleh abu Musa al-as’yari menyatakan Ali sudah turun, maka Amr bin Ash mengangkat Mu’awiyah sebagai pimpinan.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij  (golongan yang awalnya tidak menerima tahkim, keluar dari mendukung Ali bahkan justru mengadakan perlawanan) golongan ini tidak menerima hokum-hukum yang datang dari Nabi dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ustman, muawiyah dan sahabat yang membantu mereka termasuk orang-orang yang setuju menerima tahkim. Hadist-hadist yang diriwayatkan sahabat tersebut berikut fatwa-fatwanya juga ditolak dan dianggap kafir karena telah melakukan dosa besar. Sehingga menjadi ideology kaum khowarij, bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar dan orang yang tidak termasuk dalam golongannya termasuk kafir. Namun kemudian kaum kawarij ini berkembang menjadi dua, masing-masing golongan saling mengkafirkan yang lain

Disisi lain, golongan yang sangat fanatic dengan Ali Ra, mendukung beliau dengan sangat berlebihan, bahkan sampai berani mensifati Ali Ra. Dengan sifat yang tidak dimilikinya. Golongan ini disebut Syi’ah. Mereka beritikad bahwa kepemimpinan Ali berdasarkan nash Al-qur’an dan wasiat dari Nabi Muhhhammad Saw, sedangkan kholifah Abu Bakar, Umar, dan Ustman dianggap merampas jabatan. Sampai akhirnya mereka tidak menerima hadis ahkam dan fatwa-fatwa yang keluar dari selain sahabat Ali dan keluarganya. Karena fanatic yang berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa walaupun Ali bersalah bahkan berbuat dosa tidak apa-apa. Karena Ali adalah orang yang beriman, sehingga sampai sekarang telah menjadi akidah mereka, bahwa orang-orang yang sudah iman tidak apa-apa melakukan kemaksiatan, sebagaimana orang kafir tidak ada artinya melakukan ibadah. Kemudian golongan syia’ah ini terpecah menjadi lima golongan, yaitu: 1. kaisaniyah, 2. Zaidiyah, 3. Imamiyah, 4. Gholiyah, 5. Ismailiyah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.

Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid bin Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.

Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.

Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam.

Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.

Aswaja sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah satu di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader SANTRI— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

Aswaja sebagai Manhaj

Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks
(baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi. 

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12

KH. M.  Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13  karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih). (14

Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
(15

Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya.  Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17

Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.

Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19  Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti  Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21 

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah. (22

Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23

Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!”

Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.

Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

footnote :
12) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4

13)Lihat “al-Qânûn al-Asâsiy” KH. Hasyim Asy’ari, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
 14) Ibid., hlm. 16
 15) Ibid., hlm. 2
 16) Ibid., hlm.  8

 17) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3

 18)KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999, hlm. 39-41. Lihat pula KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.

19) HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama’ah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.

20) KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999),  hlm. 86-87.

21) A. Wahid Zaini,  op.cit., hlm. 51

22)   KH. A. Muchith Muzadi,  op. cit., hlm. 29

23) KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4.
  
=============
by arland
from PBNU
__._,_.___

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.

Salamin-Dikalangan anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan PMII, diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
 LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.

Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah (peristiwa bani saqifah).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)



  1. Memelihara Jenggot
Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)

Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2.Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.

Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”. ***
Sedangkan pandangan yang kedua ditawarkan oleh kalangan ulama ahlu al-sunnah wa al-jama'ah. Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.

“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Menfungsikan lafadz كل sebagai lafadz ‘amm yang bukan makhshush, akan menjadikan ruang gerak kaum muslimin sangat sempit dan akan selalu berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari agama ini adalah yusrun dan rahmatan li al-alamin. Pikiran kritis ini harus dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz كل yang termasuk dalam kategori lafadz ’amm sebagai 'amm yang makhshush. Realitas semacam ini sangat banyak kita temukan di dalam al-qur’an, diantaranya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا( الكهف : 79)

Ayat di atas menceritakan tentang perilaku nabi Hidlir yang merusak perahu yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh nabi Musa. Nabi Hidlir memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.

Kalau seandainya lafadz كل yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai dengan kedudukannya sebagai lafadz ‘amm - sehingga meliputi seluruh perahu- , baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan oleh nabi Hidlir adalah merupakan tindakan yang sia-sia, karena meskipun perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan merampas. Logika ini pada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang dimaksud dengan lafadz كل dalam ayat di atas adalah makhshush. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain untuk lafadz ‘amm yang makhshush.

Menjadikan klasifikasi bid’ah menjadi dua yaitu sayyi’ah dan hasanah juga didukung oleh hadits-hadits yang lain, diantaranya :

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ يَعْنِي ابْنَ صُبَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَأَ النَّاسُ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ وَقَالَ مَرَّةً حَتَّى بَانَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَأَعْطَوْا حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ السُّرُورُ فَقَالَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ قَالَ مَرَّةً يَعْنِي أَبَا مُعَاوِيَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ

Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid’ah menjadi sayyi’ah dan hasanah, karena lafadz yang digunakan oleh hadits adalah من سن bukan من ابتدع dan lafadz سن tidak dapat diterjemahkan dengan lafadz ابتدع .

pertanyaan selanjutnya yang perlu kita majukan adalah apakah memang demikian ? Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini diantaranya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ و حَدَّثَنَاه عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَعِيسَى بْنِ يُونُسَ لِأَنَّهُ سَنَّ الْقَتْلَ لَمْ يَذْكُرَا أَوَّلَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى اِبْن آدَم الْأَوَّل كِفْلٌ مِنْهَا ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّل مَنْ سَنَّ الْقَتْل ) ، ( الْكِفْل ) : بِكَسْرِ الْكَاف : الْجُزْء وَالنَّصِيب ، وَقَالَ الْخَلِيل : هُوَ الضِّعْف .وَهَذَا الْحَدِيث مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ : أَنَّ كُلّ مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الشَّرّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْل وِزْر كُلّ مَنْ اِقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَل مِثْل عَمَله إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَمِثْله مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْخَيْر كَانَ لَهُ مِثْل أَجْر كُلّ مَنْ يَعْمَل بِهِ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَهُوَ مُوَافِق لِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَنْ سَنَّ سُنَّة حَسَنَة وَمَنْ سَنَّ سُنَّة سَيِّئَة " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح " مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْر فَلَهُ مِثْل أَجْر فَاعِله " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى هُدًى وَمَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى ضَلَالَة " . وَاللَّهُ أَعْلَم . ( شرح النووي على مسلم : ج 6: 88)

Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh Imam Nawawi menegaskan secara kongrit bahwa lafadz سن sangat memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz ابتدع dan terjemahan yang benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi bid’ah memang ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah.

Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ هُوَ مَصِّيصِيٌّ شَامِيٌّ وَكَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 / 476 berkwalitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan, maka kelompok manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi al-thariqah fi al-din yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi berikutnya. Karena demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi substansinya sama.

Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan oleh ulama dari berbagai madzhab yang kesimpulannya adalah :

1) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah syar'iyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahi syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida' : 95)

b. bid'ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.

2) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah diniyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.

b. bid'ah dunyawiyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)

3) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah haqiqiyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil.

b. bid'ah idlafiyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.

4) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah hasanah

b. bid'ah sayyi'ah

Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita b dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompok wahabi dan yang semadzhab. Sedangkan pembagian yang keempat adalah pembagian yang cukup familiar di telinga kita karena memang ditawarkan oleh jumhur ulama yang menjadi panutan kita.

Tentang pembagian ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :

ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي

"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak.

Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh"… (nambah komentar dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.

Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain diarahkan untuk bid'ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi"


Salah satu wacana keislaman yang sedang marak di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses, setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi keberislaman NU.
“Tak seorang pun [betapapun lama ijtihadnya dalam amal] mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hamba-Nya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran diantara mereka. Tak seorangpun [betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama] dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya”.
-- Sayidina Ali karramallahu wajhah, sebagaimana dinukil oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasy Nahdlatul Ulama.
Salah satu wacana keislaman yang sedang marak di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses, setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi keberislaman NU.
Tulisan ini berawal dari kekhawatiran seorang kiai NU bernama KH Masduqi Mahfudz. Rais Syuriah PWNU Jawa Timur ini, seperti dikutip Tempo Interaktif, 12/10/2002 dalam sambutan pembukaan konferensi wilayah NU Jawa Timur “resah” melihat perkembangan pemikiran liberalisme generasi muda NU.  Kekhawatiran ini mungkin hanya menjadi kegundahan KH Masduqi, tapi mungkin juga mewakili komunitas kiai NU, khususnya di level grass root.  Statemen kiai itu sejatinya adalah respon yang saya tunggu-tunggu. Saya menunggu tanggapan itu karena kekhawatiran itu akan menjadi semacam titik paling krusial dalam perjalanan generasi muda NU dan organisasi NU itu sendiri.
Gerakan “liberalisasi” Islam --yang dalam realitasnya banyak generasi muda NU melibatkan diri dalam mengusung dan memelopori--, mengalami semacam “ambiguitas” ketika berhadapan dengan pola kehidupan ber-Islam sebagaimana yang dikonsepsikan oleh para founding fathers NU. Yang perlu saya angkat adalah realitas ketersendatan masyarakat di bawah bayang-bayang konsepsi Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ala NU dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi. Dan konsepsi Aswaja itu, pada kenyataannya, memang perlu reorientasi demi kehidupan Islam yang lebih muwâfaq terhadap kehdupan modern.
Galib ketahui, konsepsi Aswaja yang digelindingkan oleh pendiri NU, untuk era sekarang ini, sudah terasa cukup sempit dan “rigid.” Konsep itu, secara sederhana, menyatakan bahwa; Islam Aswaja adalah Islam yang menganut satu dari empat madzhab dalam fikih [Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali], menganut satu dari dua madzhab dalam teologi [Al-Asy’ari dan Al-Maturidi], serta menganut satu dari dua madzhab dalam tasawuf [Al-Ghazali dan Al-Junaidi]. Kebalikan dari ‘garis-garis’ keberagamaan di atas, siapapun yang berfikih selain menggunakan satu dari empat madzhab tersebut, atau berteologi selain dari dua madzhab, atau bertasawuf selain dari dua madzhab –atau bahkan menolak sufisme sama sekali--, maka dengan sendirinya tidak termasuk dalam barisan Aswaja ala NU.
Pada sisi lebih mikro, praktik keislaman yang diaplikasikan oleh mayoritas warga NU adalah madzhab Syafi’i. Dan dalam terma ke-madzhab-Syafi’i-an pun tidak sembarang Syafi’i, tetapi ada acuan, kriteria dan hierarki yang melingkupinya. Di antara pemikiran-pemikiran Syafi’isme itu, yang paling tinggi tingkatannya adalah kesepakatan pemikiran Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Jika ada permasalahan fiqhiyyah –persoalan yang menyangkut urusan fikih sosial-- yang penyelesaiannya tidak ditemukan dalam kesepakatan kedua pemikir Syafi’isme itu, maka seorang Sunni –penganut Aswaja-- harus turun satu tingkat, untuk sekadar mencari ‘pegangan’ pemikiran, yaitu dengan mengedepankan pemikiran yang dilontarkan Imam Nawawi saja. Selanjutnya, jika masih tidak ditemukan dalam pemikiran Imam Nawawi, kriterianya turun lagi satu tingkat; cukup mengikuti pendapat yang disampaikan oleh Imam Rafi’i saja dan seterusnya.
Itulah yang terjadi dalam perfikihan empat madzhab. Tidak itu saja, masih ada level terminologis atau standar-standar tertentu, misalnya masyhur disebut dengan qaul shahih [pendapat yang benar], ada pula qaul ashah [pendapat yang paling benar]. Ada juga terminologi Wajhân [dua pendapat] dan terminologi Wujûh [beberapa pendapat].
Dalam konteks di Indonesia, tak hanya pada masa berdirinya NU, pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi Aswaja ini memang menjadi salah satu pegangan utama dalam rangka membendung gerakan Wahabisme yang kala itu sedang gencar-gencarnya menjajakan ‘Islam murni’-nya, Islam yang diklaim paling otentik. Melihat NU yang lebih dekat di jalur kultural daripada jalur formal, konsepsi keislaman ala NU lebih mudah dicerna dan akomodatif karena memahami Islam melalui penafsiran keagamaan yang berlipat-lipat tapi kreatif serta melalui jalur-jalur ulama yang cukup ‘kompromistis’ di zamannya. Pemikiran dan strategi semacam ini pada zamannya jelas tidak bisa dikatakan sempit, bahkan sesuai dengan kebutuhan taktis masyarakat saat itu.
Namun, kita baru merasakan sempit setelah menapaki realitas kehidupan keagamaan kekinian yang multidimensional. Pada tataran fikih, misalnya, keempat madzhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampungnya kompleksitas persoalan saat ini. Namun, seringkali kita memaksakan diri untuk secara terus-menerus ‘mengembalikan” berbagai persoalan modernitas ini pada empat madzhab itu. Inilah yangsaya maksud sebagai sempitnya konsep Aswaja yang dibawa oleh NU dalam konteks sekarang ini.
Selain itu, konsepsi ini juga memiliki efek yang tak pernah kita sadari. Salah satu efek negatif dengan adanya formalisme madzhab dalam kehidupan ber-Islam ala NU itu adalah ketergantungan yang luar biasa bagi seorang muslim kepada madzhab-madzhab itu. Sedemikian ‘rapi’ dan ‘teratur’-nya ketentuan-ketentuan fikih yang dikembangkan oleh para ulama madzhab itu, dan diteruskan secara ortodoksi dan ‘meyakinkan’ oleh para pengikutnya, seolah-olah dalam menghadapi problematika sosial kita ‘harus’ mengacu pada satu dari empat madzhab yang ditawarkan. Akibatnya sering muncul pertanyaan; apa sih yang diketahui para pemimpin madzhab itu tentang problematika fikih di era modern ini, sehingga kita mesti kembali padanya? Ini baru menyangkut persoalan fikih, dan belum menyangkut persoalan lain seperti teologi dan lain-lain.
Bagi saya, tanpa kemunculan radikalisme atas nama penegakan syariat Islam yang sedang marak di tanah air, sudah sepatutnya gerakan liberalisasi Islam ditawarkan, dengan satu argumentasi: modernisme merupakan suatu realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang menolak modernitas, diharap segera kembali kepada zaman Rasul Saw, atau zaman para sahabat. Tak terkecuali Islam yang didengungkan NU pun mesti mengalami liberalisasi. Lalu, bagaimana dengan konsepsi Aswaja yang diusungnya?
Inilah titik yang berhubungan dengan statemen yang saya kira sangat ‘sosio-teologistik’, yaitu ‘kemana pemikiran generasi muda NU diarahkan’ dan ‘bagaimana konsepsi Aswaja ala NU diperlakukan?’
Sebenarnya tak terlalu sulit bagi NU untuk menerima proyek liberalisasi Islam. Sebab, jauh hari sebelum adanya gerakan liberalisasi, NU sudah memegang salah satu adagium yang sudah sangat terkenal; Al-Muhâfadzah ‘ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah; memelihara pemikiran lama yang positif dan mengambil pemikiran baru yang lebih positif. Hingga sampai di sini, NU telah memiliki modal sosial-religius awal yang amat penting.
Adalah menarik jika NU mengedepankan pembaharuan secara liberal dan terbuka daripada terus-menerus mempertahankan ‘pemikiran lama yang positif’ namun pada kenyataannya prinsip itu akan kehabisan ‘masa berlaku’-nya. Padahal, dengan liberalisme yang secara jama’ah dibawa oleh NU, kekhawatiran seperti dilontarkan oleh KH Masduqi Mahfudz itu justru bisa dihindari, karena liberalisme yang saya maksudkan di sini sangat nampak nilai ijma’ atau kebersamaannya serta tidak terkesan ‘liar’. Dengan demikian, perlu remodifikasi dan redefinisi konsep Aswaja sebagai langkah penting memulai perubahan.
“Keliaran’ itu selama ini berteduh di balik payung Gus Dur, namun akan tetap mendapatkan persemaian subur meskipun Gus Dur sekarang telah “berkurang” elan intelektualismenya. NU perlu merawat ‘konstituen pemikiran keislaman’-nya yang kini tumbuh bak jamur di musim hujan pada kalangan muda. Generasi muda kini memiliki banyak jalan untuk tetap mengerjakan ijtihad keagamaannya. Selain terpikir untuk merehab bangunan teologi NU, kalangan muda, paling tidak di Mesir, juga punya motivasi kuat untuk memunculkan NU “baru” yang lebih lincah dalam mengageni dakwah Islam di era modern. Inilah “genre” NU yang masih tetap menjadi bagian atau caretaker dari prinsip Al-akhdzu bi-al-Jadid Al-Ashlah.
Sebagai epilog, saya mengutip pidato Gus Mus, sapaan akrab KH Mustofa Bisri, saat meresmikan NU cabang Mesir beberapa waktu lalu.  Ketika Gus Mus menanggapi pergerakan anak muda NU dalam liberalisme pemikiran Islam dan isu keterputusan wacana antara generasi tua dan generasi muda NU, beliau menjawab: “Kalau yang demikian ini saya sama sekali tidak khawatir. Justru yang saya khawatirkan apabila anak mudanya berjalan di tempat sama. Maksudnya, mengalami kemandekan berpikir dan tak ada kemajuan daripada generasi sebelumnya.” Wallahu a’lam![]
Sedangkan pandangan yang kedua ditawarkan oleh kalangan ulama ahlu al-sunnah wa al-jama'ah. Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.

“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Menfungsikan lafadz كل sebagai lafadz ‘amm yang bukan makhshush, akan menjadikan ruang gerak kaum muslimin sangat sempit dan akan selalu berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari agama ini adalah yusrun dan rahmatan li al-alamin. Pikiran kritis ini harus dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz كل yang termasuk dalam kategori lafadz ’amm sebagai 'amm yang makhshush. Realitas semacam ini sangat banyak kita temukan di dalam al-qur’an, diantaranya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا( الكهف : 79)

Ayat di atas menceritakan tentang perilaku nabi Hidlir yang merusak perahu yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh nabi Musa. Nabi Hidlir memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.

Kalau seandainya lafadz كل yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai dengan kedudukannya sebagai lafadz ‘amm - sehingga meliputi seluruh perahu- , baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan oleh nabi Hidlir adalah merupakan tindakan yang sia-sia, karena meskipun perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan merampas. Logika ini pada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang dimaksud dengan lafadz كل dalam ayat di atas adalah makhshush. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain untuk lafadz ‘amm yang makhshush.

Menjadikan klasifikasi bid’ah menjadi dua yaitu sayyi’ah dan hasanah juga didukung oleh hadits-hadits yang lain, diantaranya :

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ يَعْنِي ابْنَ صُبَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَأَ النَّاسُ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ وَقَالَ مَرَّةً حَتَّى بَانَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَأَعْطَوْا حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ السُّرُورُ فَقَالَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ قَالَ مَرَّةً يَعْنِي أَبَا مُعَاوِيَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ

Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid’ah menjadi sayyi’ah dan hasanah, karena lafadz yang digunakan oleh hadits adalah من سن bukan من ابتدع dan lafadz سن tidak dapat diterjemahkan dengan lafadz ابتدع .

pertanyaan selanjutnya yang perlu kita majukan adalah apakah memang demikian ? Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini diantaranya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ و حَدَّثَنَاه عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَعِيسَى بْنِ يُونُسَ لِأَنَّهُ سَنَّ الْقَتْلَ لَمْ يَذْكُرَا أَوَّلَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى اِبْن آدَم الْأَوَّل كِفْلٌ مِنْهَا ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّل مَنْ سَنَّ الْقَتْل ) ، ( الْكِفْل ) : بِكَسْرِ الْكَاف : الْجُزْء وَالنَّصِيب ، وَقَالَ الْخَلِيل : هُوَ الضِّعْف .وَهَذَا الْحَدِيث مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ : أَنَّ كُلّ مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الشَّرّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْل وِزْر كُلّ مَنْ اِقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَل مِثْل عَمَله إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَمِثْله مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْخَيْر كَانَ لَهُ مِثْل أَجْر كُلّ مَنْ يَعْمَل بِهِ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَهُوَ مُوَافِق لِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَنْ سَنَّ سُنَّة حَسَنَة وَمَنْ سَنَّ سُنَّة سَيِّئَة " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح " مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْر فَلَهُ مِثْل أَجْر فَاعِله " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى هُدًى وَمَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى ضَلَالَة " . وَاللَّهُ أَعْلَم . ( شرح النووي على مسلم : ج 6: 88)

Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh Imam Nawawi menegaskan secara kongrit bahwa lafadz سن sangat memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz ابتدع dan terjemahan yang benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi bid’ah memang ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah.

Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ هُوَ مَصِّيصِيٌّ شَامِيٌّ وَكَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 / 476 berkwalitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan, maka kelompok manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi al-thariqah fi al-din yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi berikutnya. Karena demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi substansinya sama.

Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan oleh ulama dari berbagai madzhab yang kesimpulannya adalah :

1) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah syar'iyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahi syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida' : 95)

b. bid'ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.

2) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah diniyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.

b. bid'ah dunyawiyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)

3) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah haqiqiyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil.

b. bid'ah idlafiyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.

4) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah hasanah

b. bid'ah sayyi'ah

Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita b dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompok wahabi dan yang semadzhab. Sedangkan pembagian yang keempat adalah pembagian yang cukup familiar di telinga kita karena memang ditawarkan oleh jumhur ulama yang menjadi panutan kita.

Tentang pembagian ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :

ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي

"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak.

Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh"… (nambah komentar dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.

Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain diarahkan untuk bid'ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi"

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling penting bagi tiap-tiap Muslim. Karena bahasan ilmu tauhid ini menyangkut akidah Islam. Sedangkan akidah dalam Islam merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara akidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.
Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar terhadap dasar-dasar akidah Islam dan masalah-masalah keimanan.
Prinsip-prinsip akidah dalam Islam dan masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ. (الأنبياء : 25).
"Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. al-Anbiya' : 25).
Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal saleh yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan akidah Islam yang benar yang menjadi bahasan ilmu tauhid ini. Karena penyimpangan dari akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah. Dan penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT. Sedangkan Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang kafir, berapa pun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ. (البقرة : 217).
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. al-Baqarah : 217).
Pengertian ASWAJA
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk kata tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, maksudnya, semua yang datang dari Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal.245).
3. Al-Jama'ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar r.a, Umar bin al-Khatthab r.a, Utsman bin Affan r.a, dan Ali bin Abi Thalib r.a). Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ. (رواه الترمذي (209) والحاكم (1/77-78) وصححه ووافقه الحافظ الذهبي).
"Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama'ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)". (H.R al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ J وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ J فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، 1/80).
"Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka semua)." (Al- Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80).
Lebih jelas lagi, Hadlratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (1287- 1336 H / 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta'liqat (hal, 23-24) sebagai berikut :
أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ J وَالْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمُ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ. قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الْحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ.
"Adapun Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahi fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hanbali."
Dari defenisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Hukum Akal ('Aqli)
Apabila kita menerima sesuatu keterangan, maka akal kita tentu akan menerima dengan salah satu pendapat atau keputusan hukum sebagaimana di bawah ini:
a. Membenarkan dan mempercayainya
b. Mengingkari dan tidak mempercayainya
c. Memungkinkan, artinya boleh jadi dan boleh tidak jadi
Putusan akal atau hukum akal yang pertama itu disebut wajib:
(wajib 'aqli) واجب عقلي
yang kedua disebut:
muhal atau mustahil مستحيل عقلي
dan yang ketiga disebut:
jaiz atau mungkin (mungkin jadi dan mungkin tidak) جائز عقلي
Contoh-contoh:
1. Wajib menurut akal (pasti)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 4
b. Satu itu sama dengan sepertiga dari tiga
c. Segala benda itu apabila tidak bergerak tentu diam, dan apabila tidak diam tentu begerak.
d. Seperempat kali seperempat sama dengan seperenam belas.
maka semua pendapat itu tentu akan diterima akal yang sehat. Dengan membenarkan dan mempercayainya dan itu namanya keterangan yang wajib diterima oleh akal (wajib 'aqli).
2. Muhal menurut akal (tidak mungkin)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 5
b. Ada benda yang pada suatu waktu tidak diam dan tidak bergerak
c. Seperempat kali seperempat sama dengan seperdua kali tiga perempat
maka semua pendapat itu tentu akan ditolak oleh akal yang sehat, tidak dapat dibenarkan dan tidak akan dapat dipercayainya, dan itu namanya hal-hal yang muhal atau mustahil.
3. Jaiz (mungkin)
Apabila ada orang berkata bahwa:
a. Si Fulan nanti akan mempunyai seorang anak.
b. Rumah ini akan rusak pada tahun ini.
maka semua keterangan itu tidak akan ditolak sama sekali oleh akal, dan tidak pula akan dipastikan kebenarannya dan dipercayai. Hal itu mungkin terjadi, dan mungkin pula tidak akan terjadi. Yang sedemikian itu namanya hal-hal yang mungkin atau jaiz.
Hukum Kebiasaan, Bukan Hukum Akal
Banyak orang yang telah biasa melihat api dapat membakar kertas. Jika orang berpegang teguh pada kebiasaan yang telah diketahui berulang-ulang itu, maka ditetapkan undang-undang bahwa tiap-tiap api itu mesti dapat membakar segala macam kertas. Dan apabila dikatakan sebaliknya, ia mengatakan muhal atau mustahil, atau ia heran dan tidak mau percaya.
Perbedaannya:
Dalam kejadian semisal di atas, arti mesti dan muhal tidaklah sama dengan arti mesti atau muhal pada akal. Itu hanyalah kepastian dari kebiasaan. Adapun menurut pendapat akal, kejadian itu masih harus disebut hal yang mungkin saja terjadi, dan mungkin dengan mengetahui beberapa sebab dan musabab atau akibat, akan berubahlah kepastian tersebut.
Maka dari itu, jelas bahwa hukum kebiasaan tidak sama dengan hukum akal.
Demikianlah, segala pengetahuan manusia tentang kebiasaan alam yang sering sudah dikatakan undang-undang alam itu, masih harus disebut "hal yang mungkin". Menurut pendapat akal, karena keputusan atau undang-undang itu, terdapat hanya dari memperhatikan kepada kejadian-kejadian yang berulang-ulang saja.
Menurut akal, masih ditanyakan apakah yang menyebabkan adanya tabiat? Apakah yang menyebabkan api dapat membakar? Dan apakah yang menyebabkan air mengalir ke tempat yang rendah? Dan apa yang menyebabkan tiap-tiap zat mempunyai sifat dan tabiat yang berlainan? Demikian seterusnya.
Alam, Tabiat Dan Hukumnya
Alam seisinya disebut hawadits.
Segala sesuatu yang dahulunya tidak ada kemudian ada, kemudian tidak ada lagi, atau segala sesuatu yang dahulunya bergerak, kemudian diam, maka benda yang serupa itu namanya barang yang mungkin belaka, dan juga dinamakan barang baru atau "hawadits", artinya barang yang dahulunya tidak ada.
Dengan berubahnya sifat, dari tidak ada menjadi ada, dari diam menjadi bergerak, maka akal dapat memutuskan dengan pendapatnya, bahwa sesuatu itu adalah barang yang mungkin belaka, bukan barang wajib atau mustahil. Jika dikatakan wajib, tentu akan terus keadaannya. Dan jika dikatakan mustahil, tentu tidak akan pernah terjadi.
Demikianlah segala alam seisinya ini, ternyata sebagai hawadits. Barang baru, yang dahulunya tidak ada dan senantiasa berubah-ubah.
Dan semua hawadits, atau barang yang mungkin itu, tidak akan terjadi dan berubah dengan tanpa sebab yang menyebabkan.

بسم الله الرحمن الرحيم
أَبْدَأُ بِسْـمِ اللهِ وَالرَّحْمنِ وَبِالرَّحِيْمِ دَائِمِ اْلإِحْسَانِ
فَالْحَمْدُ للهِ الْقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ اَلآخِرِ الْبَـاقِي بِلاَتَحَوُّلِ
Saya memuji dengan menyebut Nama Allah SWT, Nama al-Rahman dan al-Rahim yang selalu berbuat kebaikan
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Qadim (tidak ada permulaannya), dan Maha Awal
Yang Maha Akhir, dan kekal tanpa ada perubahan

ثُمَّ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ سَرْمَدَا عَلَى النَّبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ وَحَّدَا
Kemudian shalawat dan salam sejahtera semoga selamanya tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai orang terbaik yang mengesakan Allah SWT

Syarh:
Muncul pertanyaan, apa perlunya mengucapkan salawat kepada Nabi Muhammad SAW padahal beliau adalah orang yang mulia dan terpilih, dengan jaminan surga dari Allah SWT?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah, di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa mengucapkan shalawat adalah teladan dari Allah SWT dan para malaikat yang mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sekaligus perintah Allah SWT kepada seluruh umat Islam untuk membaca shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب، 56).
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Ahzab : 56).
Sebagian ulama menyatakan bahwa shalawat adalah mendoakan Nabi Muhammad SAW, agar selalu mendapatkan shalawat dan salam Allah SWT. Mendoakan Nabi Muhammad SAW agar pada masa yang akan datang, rahmat dan salam Allah SWT itu akan terus diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagian lain mengatakan bahwa walaupun shalawat adalah mendo’akan Nabi Muhammad SAW namun pada hakikatnya ketika seorang membaca shalawat ia sedang bertawassul dan mengharapkan barokah Allah SWT turun kepada dirinya dengan perantara shalawat tersebut. Oleh karena itulah ketika seseorang membaca shalawat, niatnya tidak untuk mendoa’kan Nabi Muhammad SAW, tetapi mengharap kepada Allah SWT agar semua keinginannya bisa terkabulkan dengan barokah shalawat yang dibaca.

وَآلِهِ وَصَـحْبِهِ وَمَنْ تَبِعْ سَبِيْلَ دِيْنِ الْحَقِّ غَيْرَ مُبْتَدِعْ
Begitu pula shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada keluarga serta para sahabatnya dan siapa pun yang mengikuti jalan agama yang benar tanpa berbuat bid’ah

Syarh:
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW kemudian diiringi dengan shalawat kepada keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud sahabat Nabi adalah orang-orang yang pernah melihat Nabi dalam keadaan Islam dan meninggalkan dunia tetap pada keislamannya.
Sahabat adalah orang-orang yang mulia, dan selalu dalam petunjuk Allah SWT, walaupun bukan berarti mereka tidak pernah berbuat salah dan dosa. Di antara mereka ada yang telah dijamin masuk surga. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, rela mengorbankan harta bahka nyawa demi kejayaan agama Allah SWT. Taat beribadah kepada Allah SWT dengan sepenuh hati, bersujud demi mengabdi kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ. (الفتح، 29).
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS. al-Fath : 29).
Atas jasanya yang besar pada perjuangan menegakkan agama Allah SWT, Allah SWT memberikan ridha-Nya kepada mereka dan menjanjikan balasan surga yang siap menanti kedatangan mereka di akhirat. Firman Allah SWT:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. (التوبة، 100).
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. al-Taubah : 100).
Ketika Allah SWT telah memberikan ridha-Nya kepada para sahabat, maka sudah seharusnya kita sebagai umat Islam wajib mengakui serta menghormati dan mendo’akan sahabat Nabi Muhammad SAW. Tidak menyalahkan apalagi mengkafirkan mereka. Sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ. (صحيح مسلم، رقم: 4610).
“Dari Abu Hurairah RA. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku!. Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka”. (Shahih Muslim [4610]).
Para sahabat tidak melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama, termasuk pula tidak akan berbuat bid’ah yang terlarang dalam agama. Apa yang mereka kerjakan, walaupun tidak dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, bukanlah sebuah bid’ah yang buruk (sayyi’ah), tetapi bid’ah yang baik (hasanah) yang dianjurkan dalam agama. Karena Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk mengikuti apa yang beliau teladankan serta apa yang diteladankan oleh para sahabatnya. Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ J: فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِِيِّيْنَ. (مسند احمد بن حنبل، 16519).
"Dari Abdurrahman bin Amr as-Sulamy, sesungguhnya ia mendengar Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah SAW memberikan wejangan kepada kami, “Maka kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin (sahabat yang empat yang terpilih) yang mendapatkan petunjuk dari Allah.” (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, 16519).


وَبَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَةْ مِنْ وَاجِبٍ ِللهِ عِشْرِيْنَ صِفَةْ
Setelah apa yang dikemukakan tadi, ketahuilah tentang kewajiban mengetahui ada dua puluh sifat yang wajib bagi Allah SWT

Syarh:
Aqoid lima puluh adalah 50 hal yang wajib ketahui dan diyakini oleh seorang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
اِعْلَمْ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَعْرِفَ خَمْسِيْنَ عَقِيْدَةً وَكُلُّ عَقِيْدَةٍ يَجِبُ عَلَيْهَ أَنْ يَعْرِفَ لَهَا دَلِيْلاً اِجْمَالِيًّّا أَوْ تَفْصِيْلِيًّا (كفاية العوام، 3).
"Ketahuilah bahwa setiap muslim (laki-laki atau perempuan) wajib mengetahui lima puluh akidah beserta dalil-dalilnya yang bersifat global atau terperinci." (Kifayatul 'Awam, 3).
Lima puluh keyakinan itu terdiri dari:
 Keimanan kepada Allah SWT:
v
1. Sifat wajib bagi Allah SWT = 20
2. Sifat mustahil bagi Allah SWT = 20
3. Sifat jaiz bagi Allah SWT = 1
 Keimanan kepada para rasul:
v
4. Sifat wajib bagi rasul = 4
5. Sifat mustahil bagi rasul = 4
6. Sifat jaiz bagi rasul = 1
Jumlah = 50

Yang dimaksud sifat wajib di sini adalah sesuatu yang pasti ada atau dimiliki Allah SWT atau rasul-Nya, di mana akal tidak akan membenarkan jika sifat-sifat itu tidak ada pada Allah SWT dan rasul-Nya.
Mustahil merupakan perkara yang tidak mungkin ada pada Allah SWT dan rasul-Nya. Kebalikan dari sifat wajib, yaitu akal tidak akan terima jika sifat-sifat tersebut ada pada Allah SWT dan para rasul-Nya.
Sedangkan jaiz adalah sifat yang tidak harus ada pada Allah SWT dan rasul-Nya. Dengan pengertian bahwa ada dan tidak adanya sifat ini pada Allah SWT dan rasul-Nya bisa diterima oleh akal.

فَاللهُ مَوْجُوْدٌ قَدِيْمٌ بَاقِيْ مُخَالِفٌ لِلْخَلْقِ بِاْلإِطْلاَقِ
Maka Allah SWT adalah Dzat yang bersifat Wujud (Ada), Qadim (tidak ada permulaan-Nya), Kekal, dan berbeda dengan makhluk secara mutlak

Syarh:
Sifat Allah SWT yang dua puluh tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wujud (Ada)
Allah SWT adalah Tuhan yang wajib kita sembah itu pasti ada. Allah SWT, ada tanpa ada perantara sesuatu dan tanpa ada yang mewujudkan. Firman Allah SWT:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي (طه،14).
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha : 14).
Kalau sekarang manusia tidak bisa melihat Allah SWT, itu karena memang ada hijab sehingga manusia tidak mampu melihat Allah SWT, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa AS (QS. Al-A'raf : 143). Kelak di surga, ketika hijab itu diangkat, manusia akan mampu melihat jelas Dzat Allah SWT dan dengan mata telanjang. Sabda Nabi SAW:
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ J فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ (رواه البخاري ومسلم).
"Dari Jarir bin Abdillah RA ia berkata, "Suatu malam kami berkumpul bersama Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW melihat bulan purnama, lalu bersabda, "Sesungguhnya kelak kalian akan melihat Tuhan kalian (sama jelasnya ) seperti kalian melihat bulan purnama ini, kalian tidak silau ketika melihatnya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Adanya alam semesta beserta isinya merupakan tanda bahwa Allah SWT ada. Dialah yang menciptakan alam raya yang menakjubkan ini.
Kebalikan sifat ini adalah sifat adam (العدم), yakni Allah SWT mustahil tidak ada.

2. Qidam (Dahulu)
Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Allah SWT pasti lebih dahulu sebelum makhluk. Firman Allah SWT:
هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الحديد،3).
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Hadid : 3).
Dahulu bagi Allah SWT tanpa awal. Tidak berasal dari tidak ada kemudian menjadi Ada. Sabda Nabi SAW:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J، كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ (رواه البخاري والبيهقي).
"Dari Imron bin Hushain RA, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT ada (dengan keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya." (HR. al-Bukhari dan al-Baihaqi).
Kebalikannya adalah huduts (حدوث), yakni mustahil Allah SWT itu baru dan memiliki permulaan.

3. Baqa’ (Kekal)
Arti baqa' adalah bahwa Allah SWT senantiasa ada, tidak akan mengalami kebinasaan atau rusak. Dalam al-Qur’an disebutkan:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ (الرحمن، 26-27).
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (QS. ar-Rahman : 26-27).

Allah SWT adalah Dzat yang Maha Mengatur alam semesta. Dia selalu ada selama-lamanya dan tidak akan binasa untuk mengatur ciptaan-Nya itu. Hanya kepada-Nya seluruh kehidupan ini akan kembali. Firman Allah SWT:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص، 88).
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. al-Qashash : 88).
Kebalikannya adalah sifat Fana (فناء), yang berarti mustahil Allah SWT tidak kekal.

4. Mukhalafatu Lilhawaditsi, (Berbeda dengan makhluk)
Allah SWT pasti berbeda dengan segala yang baru (makhluk). Perbedaan Allah SWT dengan makhluk itu mencakup segala hal, baik dalam sifat, dzat dan perbuatannya. Firman Allah SWT:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. (الشورى، 11).
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. as-Syura : 11).
Apapun yang terlintas di dalam benak dan pikiran seseorang, maka Allah SWT tidak seperti yang dipikirkan itu. Imam Ahmad mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ. (الفرق بين الفرق، 20).
"Apapun yang terlintas di benakmu (tentang Allah SWT) maka Allah SWT tidak seperti yang dibayangkan itu." (Al-Farqu Bainal Firoq, 20).
Karena itulah seorang mukmin tidak diperkenankan membahas Dzat Allah SWT karena ia tidak akan mampu untuk melakukannya. Justru ketika ia menyadari akan kelemahannya itu, maka pada saat itu sebenarnya ia telah mengenal Allah SWT. Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq mengatakan:
اَلْعَجْزُ عَنْ دَرْكِ اْلإِدْرَاكِ اِدْرَاكٌ وَالْبَحْثُ عَنْ ذَاتِهِ كُفْرٌ وَإشْرَاكٌ
Ketidakmampuan untuk mengetahui Allah SWT adalah sebuah kemampuan.
Sedangkan membahas Dzat Allah SWT adalah kufur dan syirik
Kebalikannya adalah mumatsalatuhu lilhawaditsi (مماثلته للحوادث), yakni mustahil Allah SWT sama dengan makhluk-Nya.

وَقَائِمٌ غَنِي وَوَاحِدٌ وَحَيْ قَادِرْ مُرِيْدٌ عَالِمٌ بِكُلِّ شَيْ
Allah SWT hádala Dzat Yang berdiri sendiri, Tunggal, Hidup, Berkuasa, Berkehendak dan Mengetahui segala sesuatu

Syarh:

5. Qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri)
Berbeda dengan makhluk yang masih membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya, Allah SWT tidak butuh terhadap sesuatu apapun. Allah SWT tidak membutuhkan tempat dan dzat yang menciptakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (العنكبوت، 6).
"Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. al-Ankabut : 6).
Allah SWT Maha Kuasa untuk mewujudkan sesuatu tanpa membutuhkan bantuan makhluk-Nya. Tetapi merekalah yang membutuhkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلىَ اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (فاطر، 15).
"Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS. Fathir : 15).
Allah SWT tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bahkan terhadap ibadah yang dilakukan seorang hamba, Allah SWT tidak membutuhkannya. Ketika Allah SWT mensyariatkan shalat, puasa, zakat, haji, sedekah dan lain sebagainya, maka itu bukan karena Allah SWT membutuhkannya. Tetapi karena di dalamnya ada manfaat besar yang akan dirasakan oleh orang-orang yang melaksanakan-Nya. Jadi ibadah itu bukan untuk kepentingan Allah SWT, tetapi itu adalah kebutuhan kita sebagai hamba.
Kebalikan dari sifat ini adalah ihtiyajuhu li ghairihi ( إحتياجه لغيره ) artinya mustahil Allah SWT butuh kepada makhluk.

6. Wahdaniyat (Esa/satu)
Allah SWT satu/esa, tidak ada tuhan selain Diri-Nya. Allah SWT Maha Esa dalam Dzat, Sifat dan perbuatan-Nya. Firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (الأنبياء، 108).
"Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)". (QS. al-Anbiya' : 108).
Satu dalam Dzat Artinya, bahwa Dzat Allah SWT satu, tidak tersusun dari beberapa unsur atau anggota badan dan tidak ada satupun dzat yang menyamai Dzat Allah SWT.
Satu dalam sifat artinya bahwa sifat Allah SWT tidak terdiri dari dua sifat yang sama, dan tidak ada sesuatupun yang menyamai sifat Allah SWT.
Dan satu dalam perbuatan adalah bahwa hanya Allah SWT yang memiliki perbuatan. Dan tidak satupun yang dapat menyamai perbuatan Allah SWT.
Sifat yang mustahil bagi-Nya yaitu “ta’addud" (تعدد) berbilangan, bahwa mustahil Allah lebih dari satu. Firman Allah SWT:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ (الأنبياء، 22).
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiya’: 22).

7. Qudrat (Kuasa)
Allah SWT Maha Kuasa dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan Allah SWT meliputi terhadap segala sesuatu. Kuasa untuk mewujudkan dan meniadakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Allah SWT berfirman:
وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (الحشر، 6).
“Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Hasyr : 6).
Kalau Allah SWT tidak kuasa, tentu Ia tidak akan mampu meciptakan alam raya yang sangat menakjubkan ini. Karena itu, mustahil bagi Allah SWT memiliki sifat al-'Ajzu ( العجز ) yang berarti lemah.

8. Iradah (Berkehendak)
Allah SWT Maha berkehendak, dan tidak seorangpun yang mampu menahan kehendak Allah SWT. Dan segala yang terjadi di dunia berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT. Allah SWT berfirman:
قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً. (الفتح، 11).
"Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfa`at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Fath : 11).
Allah SWT juga berfirman:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (يس، 82).
"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia." (QS. Yasin : 82).
Lawan dari sifat ini adalah ( الكراهة ) yang mempunyai makna “ terpaksa", yakni mustahil Allah berbuat sesuatu karena terpaksa, atau tidak dengan kehendak-Nya sendiri.

9. Ilmu (Mengetahui)
Allah SWT adalah Dzat yang Maha Menciptakan, maka Ia pasti mengetahui segala sesuatu diciptakan-Nya. Allah SWT mengetahui dengan jelas akan semua perkara yang jelas tampak ataupun yang samar, tanpa ada perbedaan antara keduanya. Allah SWT berfirman:
إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى. (الأعلى، 7).
“Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” (QS. al-A’la : 7).

Kebalikan sifat ini adalah al-jahlu (الجهل), yang berarti bodoh. Bahwa mustahil Allah SWT bodoh atau tidak mengetahui pada apa yang diciptakan.

10. Hayat (Hidup)
Allah SWT Maha Hidup, dan hidup Allah SWT adalah kehidupan abadi, tidak pernah dan tidak akan mati.
وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْحَيِّ ٱلَّذِي لاَ يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَىٰ بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيراً. (الفرقان : 58).
"Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya." (QS. al-Furqan : 58).
Kebalikan dari sifat ini adalah al-mautu (الموت), yang berarti mati. Yakni mustahil Allah SWT mati.

سَمِـيْعٌ الْبَصِيْرُ وَالْمُتَكَلِّمُ لَهُ صِفَـاتٌ سَبْعَةٌ تَنْتَظِمُ
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سَمْعٌ بَصَرْ حَيَاةٌ الْعِلْمُ كَلاَمٌ اسْتَمَرْ
Allah SWT juga Maha Mendengar, Melihat, dan Berbicara
Dia mempunyai tujuh sifat yang teratur
Yaitu sifat Qudrat, Iradat, Sama', Bashar
Hayat, Ilmi dan Kalam yang berlangsung terus

Syarh:
11. Sama’ (Mendengar)
Allah SWT Maha Mendengar. Namun pendengaran Allah SWT tidak sama dengan pendengaran manusia yang bisa dibatasi ruang dan waktu. Allah SWT mendengar dengan jelas semua yang diucapkan hamba-Nya. Pendengaran Allah SWT tidak berbeda pada perkara yang dhahir atau yang bathin. Firman Allah SWT:
إِنَّهُ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ. (الدخان : 6).
"Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. ad-Dukhan : 6).
Kebalikan dari sifat ini adalah al-shamamu (الصمم) yang berarti tuli. Yakni bahwa mustahil Allah SWT itu tuli.

12. Bashor (Melihat)
Allah SWT Maha melihat segala sesuatu. Baik yang nampak ataupun yang samar. Bahkan andaikata ada semut yang sangat hitam berjalan di tengah malam yang gelap gulita, Allah SWT dapat melihatnya dengan jelas.
فَاطِرُ ٱلسَّمَاوَاتِ وَٱلأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَمِنَ ٱلأَنْعَامِ أَزْواجاً يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ. (الشورى : 11).
"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. as-Syura : 11).
Kebalikan sifat ini adalah al-'ama (العمى) yang berarti buta, yakni bahwa mustahil Allah SWT itu buta.

13. Kalam (Berfirman)
Allah SWT Maha berfirman, namun firman Allah SWt tidak sama seperti perkataan manusia yang terdiri dari suara dan susunan kata-kata. Firman Allah SWT, tanpa suara dan kata-kata.
وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِن قَبْلُ وَرُسُلاً لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ ٱللهُ مُوسَىٰ تَكْلِيماً. (النساء : 164).
"Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (QS. an-Nisa’ :164).
Kebalikan sifat ini adalah al-bakamu (البكم), yang berarti bisu. Yakni bahwa mustahil Allah SWT itu bisu.
Tujuh sifat ini adalah tergolong sifat Ma’ani. Sedangkan tujuh sifat setelahnya adalah sifat Ma’nawiyyah. Yakni, 14) Qodiron (Allah Maha Berkuasa ), 15) Muridan (Allah Maha Berkehendak), 16) Aliman (Allah Maha Mengetahui), 17) Hayyan (Allah Maha Hidup), 18) Sami’an (Allah Maha Mendengar), 19) Bashiron (Allah Maha Melihat), dan 20) Mutakalliman (Allah Maha Berbicara).
Jika diperinci, maka dua puluh sifat wajib bagi Allah SWT terbagi menjadi empat kriteria.
1. Sifat Nafsiyyah, yakni sifat untuk menegaskan adanya Allah SWT, di mana Allah SWT menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini hanya satu, yakni sifat wujud.
2. Sifat Salbiyyah, yaitu sifat yang digunakan untuk meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah SWT. Sifat Salbiyah ini ada lima sifat yakni, 1) Qidam, 2) Baqo', 3) Mukhalafatu lil hawaditsi, 4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5) Wahdaniyyah.
3. Sifat Ma’ani, adalah sifat yang pasti ada pada Dzat Allah SWT. Terdiri dari tujuh sifat, 1) Qudrat, 2) Iradah, 3) Ilmu, 4) Hayat, 5) Sama’, 6) Bashar dan 7) Kalam.
4. Sifat Ma’nawiyyah, adalah sifat yang mulazimah (menjadi akibat) dari sifat ma’ani, yakni 1) Qadiran, 2) Muridan, 3) Aliman, 4) Hayyan, 5) Sami’an, 6) Bashiran, 7) Mutakalliman.

Sifat Jaiz Bagi Allah SWT

وَجَائِزٌ بِفَضـْلِهِ وَعَدْلِهِ تَرْكٌ لِكُلِّ مُمْكِنٍ كَفِعْلِهِ
Dan adalah boleh dengan anugerah Allah SWT dan keadilannya, ialah meninggalkan segala yang mungkin seperti halnya Dia melakukannya

Syarh:
Sifat jaiz Allah SWT ada satu, yakni:
فِعْلُ كُلِّ مُمْكِنٍ أَوْ تَرْكُهُ
"Allah berhak untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan (tidak mengerjakan)nya."
Tidak ada satu pun kekuatan yang dapat memaksa-Nya. Allah SWT memiliki hak penuh untuk mengerjakan atau mewujudkan suatu perkara. Sebagaimana juga Allah SWT mempunyai pilihan bebas untuk tidak menjadikannya. Firman Allah SWT:
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَآ أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ. (النحل :40).
"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia." (QS. an-Nahl : 40).
Tidak seorangpun dari makhluk Allah SWT yang berhak untuk memaksa Allah SWT untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Karena Allah SWT adalah Dzat yang Maha Memaksa dan Maha Kuasa, tidak bisa dipaksa atau dikuasai. Sedangkan usaha dan doa manusia hanya sekedar perantara untuk mengharap belas kasih Allah SWT dalam mengabulkan apa yang diinginkan. Keputusan akhir adalah mutlak ada pada kekuasaa Allah SWT. Firman Allah SWT:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. (القصص : 68).
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)." (QS. al-Qashash : 68).

أَرْسَلَ أَنْبِيَا ذَوِيْ فَطَانَةْ بِالصِّدْقِ وَالتَّبْلِيْغِ وَاْلأَمَانَةْ
Allah SWT mengutus beberapa nabi yang memiliki kecerdasan, dengan perkataan yang benar, menyampaikan perintah Allah SWT dan amanah

Syarh:
Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan serta menyebarkan ajaran Islam ke muka bumi. Nabi adalah seorang manusia yang menerima wahyu dari Allah SWT, namun tidak ada perintah untuk disampaikan kepada kaumnya. Sedangkan rasul, selain menerima wahyu ia juga diperintahkan untuk menyampaikannya kepada kaum. Maka bisa dikatakan bahwa setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul.
Sebagai utusan Allah SWT, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang dibekali Allah SWT dengan keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk Allah SWT yang lain. Begitu pula mereka diberikan sifat-sifat kesempurnaan sebagai penguat atas risalah yang dibawa.
Khusus bagi Rasul, sebagai kesempurnaan dari risalah yang disampaikan, Allah SWT menganugerahkan empat sifat kesempurnaan, yang pasti dimiliki oleh seorang rasul Allah SWT. Yakni:

1. Shidiq (jujur)
Setiap rasul pasti jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Pujian Allah SWT kepada Nabi Ibrahim:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا. (مريم :41).
"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi." (QS. Maryam : 41).
Setiap rasul pasti jujur dalam pengakuan atas kerasulannya. Dan apa yang disampaikan pasti benar adanya, karena memang bersumber dari Allah SWT. Firman Allah SAW:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰ، إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَىٰ, (النجم : 3-4).
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. an-Najm : 3-4).

2. Tabligh (menyampaikan)
Setiap rasul pasti menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT. Jika Allah SWT, memerintahkan rasul untuk menyampaikan wahyu, seorang rasul pasti menyampaikan wahyu tersebut kepada kaumnya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّيْ وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ. (الأعراف : 62).
"Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al-A’raf : 62).

3. Amanah (bisa dipercaya)
Secara bahasa amanah berarti bisa dipercaya. Sedangkan yang dimaksud di sini bahwa setiap rasul adalah dapat dipercaya dalam setiap ucapan dan perbuatannya, karena rasul tidak mungkin melakukan perbuatan yang dilarang dalam agama, begitu pula hal yang melanggar etika. Setiap rasul tidak mungkin terperosok ke dalam perzinahan, pencurian, menkonsumsi minuman keras, berdusta, menipu dan lain sebagainya. Rasul tidak mungkin memiliki sifat hasud, riya’, sombong, dusta dan sebagainya.

4. Fathonah (cerdas)
Dalam menyampaikan risalah Allah SWT, tentu dibutuhkan kemampuan dan strategi khusus agar risalah yang disampaikan bisa diterima dengan baik. Karena itu, seorang rasul pastilah orang yang cerdas. Kecerdasan ini sangat berfungsi terutama dalam menghadapi orang-orang yang membangkang dan menolak ajaran Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan:
قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ. (هود : 32).
"Mereka berkata: "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." (QS. Hud : 32).


وَجَائِزٌ فِي حَقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ بِغَيْرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ الْمَرَضِ
Adalah boleh bagi para rasul mengalami kejadian yang dialami manusia
Tanpa mengurangi derajat mereka seperti sakit yang ringan

Syarh:
Walaupun sebagai seorang utusan Allah SWT yang memiliki sifat kesempurnaan melebihi makhluk Allah SWT yang lain, namun hal itu tidak akan melepaskan mereka dari fitrah kemanusian yang ada dalam dirinya. Seorang rasul tetaplah sebagai seorang manusia biasa yang berprilaku sebagaimana manusia yang lain.
Para rasul Allah SWT memiliki sifat serta melakukan aktifitas sebagaimana manusia kebanyakan. Sudah tentu yang dimaksud adalah prilaku dan sifat-sifat yang tidak mengurangi derajat kenabian mereka di mata manusia. Seperti makan, minum, tidur, sakit dan semacamnya. Sedangkan prilaku yang dapat merendahkan derajat kerasulannya, mereka tidak pernah melakukannya. Dan inilah yang membedakan mereka dengan manusia yang lain.


عِصْمَتُهُمْ كَسَائِرِ الْمَلاَئِكَةْ وَاجِبَةٌ وَفَاضَلُوْا المَـلاَئِكَةْ
Mereka wajib terpelihara dari perbuatan dosa (ma'shum) seperti halnya Malaikat dan keutamaan mereka melebihi para Malaikat

Syarh:
Sebagaimana para malaikat, yang selalu patuh kepada perintah Allah SWT, dan tidak pernah sekalipun melanggar larangan Allah SWT, maka para nabi dan rasul Allah SWT juga demikian. Mereka adalah orang-orang yang dijaga Allah SWT dari perbuatan yang dapat mendatangkan dosa. Para nabi dan Rasul adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.
Allah SWT telah menjaga para nabi dan rasul dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sejak mereka masih kecil, sebelum mereka mengemban risalah Allah SWT, begitu pula setelah diangkat menjadi nabi dan rasul Allah SWT.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengaku sebagai nabi Allah SWT, namun diantara perbuatannya ada yang melanggar perintah Allah SWT, atau mempermainkan dan mempermudah ajaran agama yang dibawa, maka pengakuannya sebagai nabi harus ditolak.


وَالْمُسْتَحِيْلُ ضِدُّ كُلِّ وَاجِبِ فَاحْفَظْ لِخَمْسِيْنَ بِحُكْمٍ وَاجِبِ
Sifat mustahil adalah kebalikan dari setiap sifat yang wajib, maka hafalkanlah aqaid lima puluh untuk melaksanakan hukum yang wajib

Syarh:
Sedangkan sifat mustahil bagi rasul adalah kebalikan dari sifat wajib yang empat di atas. Perincian sifat mustahil bagi para rasul tersebut adalah sebagai berikut.:
1. Shidiq (jujur) = Kidzib (dusta)
2. Amanah (dapat dipercaya) = Khiyanat (tidak dapat dipercaya)
3. Tabligh (menyampaikan wahyu) = Kitman (menyembunyikan wahyu)
4. Fathonah (cerdas) = Baladah (bodoh)
Dengan demikian maka genaplah aqoid lima puluh yang wajib diketahui oleh umat Islam.


تَفْصِيْلُ خَمْسَةٍ وَعِشْرِيْنَ لَزِمْ كُلَّ مُكَلَّفٍ فَحَقِّقْ وَاغْتَنِمْ
Rincian 25 rasul wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf, maka pastikan dan raihlah jumlahnya

Syarh:
Para rasul Allah SWT sangat banyak, sebagian ulama mengatakan hingga mencapai 315 rasul. Sedangkan nabi Allah SWT mencapai 124.000. Di antara mereka ada yang wajib untuk diketahui dan ada yang tidak wajib. Nabi dan rasul Allah SWT yang wajib diketahui berjumlah 25, yakni mereka yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Dengan perincian sebagai berikut:


هُمْ آدَمٌ إِدْرِيْسُ نُوْحٌ هُوْدُ مَعْ صَـالِحْ وَإِبْرَاهِيْمُ كُلٌّ مُتَّبَعْ
لُوْطٌ وَإِسْـمَاعِيْلُ إِسْحَاقُ كَذَا يَعْقُوْبُ يُوْسُفُ وَأَيُوْبُ احْتَذََا
شُعَيْبُ هَارُوْنُ وَمُوْسَى وَالْيَسَعْ ذُوْ الْكِفْلِ دَاوُدُ سُلَيْمَانُ اتَّبَعْ
اِلْيَــاسُ يُوْنُسُ زَكَرِيَّا يَحْيَ عِيْسَى وَطَـهَ خَاتِمٌ دَعْ غَيَّا
عَلَيْهِمُ الصَّـلاَةُ وَ الـسَّلاَمُ وَآلِـهِمْ مَـا دَامَتِ اْلأَيَّامُ
Mereka adalah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan Ibrahim semuanya diikuti
Luth, Isma’il, Ishaq, ya’qub, Yusuf, Ayyub yang mengikuti
Syu’aib, Harun, Musa, Ilyasa’, Dzulkifli, Dawud dan Sulaiman yang mengikuti
Ilyas, Yunus, Zakariya, Yahya, Isa, dan Thaha (Nabi Muhammad) sebagai nabi yang terakhir, maka tinggalkanlah jalan yang sesat
Shalawat dan salam sejahtera semuga selalu terlimpahkan kepada mereka dan keluarganya, selama hari-hari masih berjalan

Syarh:
Inilah jumlah nama dan urutan nabi dan rasul Allah SWT yang wajib ketahui. Dimulai dari Nabi Adam AS sebagai pembuka para nabi, dan diakhiri Nabi Muhammad SAW, nabi dan rasul Allah SWT yang terakhir.
Penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul Allah SWT yang terakhir ditegaskan langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan hadits. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
مَا كَانَ مَحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِـيِّـيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا (الأحزاب : 40).
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasûlullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzâb : 40).
Nabi SAW juga bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ J إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ انْقَطَعَتْ فَلاَ رَسُولَ بَعْدِي وَلاَ نَبِيَّ. (سنن الترمذي، 2198).
“Dari Anas bin Mâlik ia berkata, bahwa Rasûlullâh SAW bersabda, “Sesungguhnya misi kerasulan dan kenabian telah selesai. Karena itu tidak ada rasul dan nabi setelah aku.” (Sunan al-Tirmidzî, 2198).
Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:
عن عَبْد اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J أَنَا مُحَمَّدٌ النَّبِيُّ اْلأُمِّيُّ قَالَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَلاَ نَبِيَّ بَعْدِي. (مسند احمد ، 6318)
"Dari Abdullah bin Amar, Rasulullah SAW bersabda, "Saya adalah Muhammad, seorang nabi yang ummi (beliau mengucapkannya tiga kali), dan tidak ada nabi setelah saya." (Musnad Ahmad, 6318).
Dalam hadits lain, Nabi SAW juga bersabda tentang Bani Israil:
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ النَّبِيُّ J كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي (صحيح البخاري ، 3197).
"Dari Furat al-Qazzaz, Nabi SAW bersabda, " Bani Isra'il dulu dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka digantikan oleh nabi yang lain. Namun (berbeda dengan umatku, karena) setelah aku tidak akan ada nabi lagi." (Shahih al-Bukhari, 3198).
Sabda Nabi Muhammad SAW tentang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim:
عَنْ إِسْمَاعِيلَ قُلْتُ لاِبْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ النَّبِيِّ J قَالَ مَاتَ صَغِيرًا وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ J نَبِيٌّ عَاشَ ابْنُهُ وَلَكِنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. (صحيح البخاري ، 5726).
“Dari Ismail, saya berkata kepada Ibnu Abi Awfa, “Engkau telah melihat Ibrahim putra Nabi SAW?" Dia menjawab, "(Ya, saya melihatnya) meninggal ketika masih kecil (dalam usia delapan belas bulan). Andaikan Allah SWT telah menetapkan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, niscaya Ibrahim akan hidup (tidak meninggal dunia). Tetapi (Allah SWT telah menentukan bahwa) tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” (Shahih al-Bukhari, 5726).
Rasul SAW juga bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ J وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِـيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي. (سنن الترمذي، 2145).
“Dari Tsaubân ia berkata, Rasûlullâh SAW bersabda, “Sesungguhnya kelak pada umatku ada tiga puluh orang pendusta. Mereka semua mengaku dirinya sebagai nabi. (Maka janganlah percaya karena sesungguhnya) akulah akhir para nabi dan tidak ada nabi setelahku.” (Sunan al-Tirmidzî, 2145).
Ini merupakan nubuwat Rasulullah SAW tentang adanya orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah beliau. Dan dengan tegas Nabi SAW mengatakan agar umat Islam tidak mempercayai mereka, karena beliau adalah akhir dan penutup para nabi.
Keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir begitu kuat tertanam di dada para sahabat Nabi SAW, sehingga ketika ada yang mengaku sebagai nabi, serta merta mereka menolaknya, sekaligus menyatakan perang kepada mereka.
Terkait dengan meninggalnya putra beliau Ibrahim, Ibn Abbas mengatakan:
“Allah SWT bermaksud apabila aku tidak menjadikan dia (Muhammad SAW) penutup para nabi, niscaya pasti aku ciptakan seorang anak untuknya yang akan menjadi nabi sesudahnya.” (Al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir, juz II hal 529).


وَالْمَلَكُ الَّذِي بِلاَ اَبٍ وَأُمّ لاَ أَكْلَ لاَشَرْبَ وَلاَنَوْمَ لَهُمْ
Dan Malaikat yang tanpa ayah dan ibu, tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur

Syarh
Umat Islam wajib percaya kepada adanya malaikat sebab hal itu sudah ditegaskan dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT:
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. (البقرة، 285).
“Rasul Telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. al-Baqarah: 285).
Iman kepada malaikat artinya adalah meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk yang terbuat dari cahaya, dan tidak pernah durhaka kepada Allah SWT.
Malaikat adalah makhluk yang sangat mengagumkan. Mereka tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak berkeluarga. Mereka dapat merubah bentuk dirinya menjadi manusia, sebagaimana terjadi pada malaikat Jibril ketika menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang ia menampakkan dirinya dalam bentuk manusia.
Masing-masing malaikat diberi tugas oleh Allah SWT. Di antara mereka ada yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu, mencatat amal manusia, menjaga surga, mengikuti dan menghadiri majlis dzikir. Di antara mereka ada yang ditugaskan hanya untk menyembah dan bertasbih kepada Allah SWT. Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga badan manusia dan sebagainya.
Para malaikat hanya mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT kepadanya. Mereka tidak melanggar larangan Allah SWT ataupun sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ. (التحريم، 6).
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. al-Tahrim : 6).


تَفْصِيْلُ عَشْرٍ مِنْهُمُ جِبْرِيْلُ مِيْـكَالُ اِسْـرَافِيْلُ عِزْرَائِيْلُ
مُنْكَرْ نَكِيْرٌ وَرَقِيْبٌ وَكَذَا عَتِيْدٌ مَالِكٌ وَرِضْوَانُ احْتَذََى
Rincian sepuluh dari Malaikat adalah Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Mungkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik dan Ridhwan yang mengikuti

Syarh:
Malaikat-malaikat Allah SWT banyak sekali, namun yang wajib diketahui hanya sepuluh Yakni
1. Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu Allah SWT.
2. Malaikat Mika’il bertugas memberikan rizki.
3. Malaikat Izra’il bertugas mencabut arwah.
4. Malaikat Israfil bertugas meniup terompet pertanda hari kiamat.
5. dan 6. Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir, bertugas menjaga kuburan.
7. dan 8. Malaikat Raqib dan Malaikat Atid, bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia.
9. Malaikat Ridwan, bertugas menjaga surga.
10. Malaikat Malik, bertugas menjaga neraka.
أَرْبَـعَةٌ مِنْ كُتُبٍ تَفْصِيْلُهَا تَوْرَاةُ مُـوْسَى بِالْهُدَى تَنْزِيْلُهَا
زَبُوْرُ دَاوُدَ وَإِنْجـِيْلُ عَلَى عِيْسَى وَفُرْقَانٌ عَلَى خَيْرِ الْمَلاَ

Rincian empat kitab (yang wajib diketahui) adalah Taurat(nya Nabi) Musa yang diturunkan membawa petunjuk, Zabur(nya Nabi) Dawud, Injil yang diturunkan atas Isa dan Furqan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada sebaik-baik nabi

وَصُـحُفُ الْخَلِيْلِ وَالْكَلِيْمِ فِيْهَا كَـلاَمُ الْحَكَمِ الْعَلِيْمِ
Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, di dalamnya terdapat firman Tuhan Yang Maka Bijaksana lagi Maha Mengetahui

Syarh:
Iman kepada kitab Allah SWT adalah percaya dan meyakini bahwa Allah SWT telah menurunkan beberapa kitab kepada para rasul-Nya untuk dijadikan pedoman hidup manusia. Dalam hal ini, beriman kepada kitab Allah SWT mencakup tiga perkara:
1. Percaya bahwa kitab-kitab itu benar-benar diturunkan oleh Allah SWT.
2. Beriman bahwa Allah SWT telah menurunkan beberapa kitab yang wajib diketahui. Yakni, al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, Taurat kepada Nabi Musa as, Injil kepada Nabi Isa as dan Zabur kepada Nabi Dawud as.
3. Mempercayai kepada berita-berita yang dibawa oleh kitab-kitab tersebut.
Kenapa Allah SWT menurunkan kitab kepada para rasul-Nya. Tidak cukupkah manusia dengan akalnya dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dapat menentukan baik dan buruk untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat? Jawabannya dari pertanyaan ini bisa dilihat dari tiga sisi:
1. Akal manusia itu sangat terbatas. Begitu pula dengan ilmu yang diberikan Allah SWT kepada manusia hanya sedikit sekali. Ibarat setetes air yang berada di samudera yang luas membentang, itulah gambaran ilmu yang dimiliki manusia dibandingkan dengan ilmu Allah SWT.
2. Kalau manusia diberikan kebebasan sepenuhnya, maka yang terjadi adalah manusia akan berbeda dalam mendefinisikan perkara baik yang dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan dunia akhirat, serta perbuatan buruk yang menjadikan hidup manusia menjadi sengsara. Contoh kecil tentang pergaulan bebas atau seks pra nikah. Bisa saja di suatu daerah, misalnya di Barat dianggap baik dan tidak akan menimbulkan kerusakan, tapi dalam budaya timur hal itu merupakan perbuatan asusila yang mendatangkan kesengsaraan dunia dan akhirat. Di sinilah fungsi kitab Allah SWT yang menjelaskan berbagai hukum Allah SWT.
3. Tidak semua perbuatan dapat diketahui dengan akal manusia. Ada banyak hal yang membutuhkan petunjuk dari Allah SWT agar perbuatan itu dapat dikerjakan dengan cara yang benar. Misalnya tentang tata cara beribadah kepada Allah SWT seperti shalat, puasa dan haji. Untuk mengetahui cara tersebut harus menunggu penjelasan dari Allah SWT melalui kitab dan rasul-Nya. Tanpa penjelasan itu maka manusia tidak akan mengetahui tatacara beribadah yang benar kepada Allah SWT.
Inilah diantara beberasa alasan kepada Allah SWT menurunkan kitab kepada para rasul-Nya.


وَكُـلُّ مَا أَتَى بِـهِ الرَّسُوْلُ فَـحَقُّهُ التَّسْلِيْمُ واَلْقَبُوْلُ
Segala sesuatu yang disampaikan oleh rasul, maka kewajibannya adalah dibenarkan dan diterima

Syarh:
Umat Islam wajib meyakini dan melaksanakan semua yang dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perintah, larangan atau hal yang terkait dengan kabar tentang hal-hal gaib. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. (الحشر، 7).
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr : 7).
Apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah perkara yang wajib diyakini kebenarannya. Termaktub semuanya di dalam al-Qur’an dan hadits. Ketika Allah SWT dan Rasulullah SAW menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, maka hal tersebut wajib diyakini kebenarannya. Begitu pula pengakuan Allah SWT dan rasul-Nya kepada sahabat nabi, maka wajib bagi umat Islam untuk meyakininya.
Meyakini apa yang dibawa oleh Nabi SAW bisa berarti bahwa umat Islam wajib melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan Allah SWT dan Rasul-Nya. Melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT, kemudian tidak melakukan pencurian, perzinahan, perusakan lingkungan, aniaya, penipuan dan semacamnya, adalah bentuk dari upaya untuk melaksanakan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dan inilah yang disebut Islam yang sempurna (kaffah) sebagaimana difirmankan Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. (البقرة : 208).
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah : 208).


إِيْـمَانُنَا بِيَوْمٍ آخَرٍ وَجَبْ وَكُلِّ مَا كَانَ بِهِ مِنَ الْعَجَبْ
Kita wajib percaya akan adanya hari akhir, dan segala keajaiban yang terjadi pada hari itu

Syarh:
Maksud dari beriman kepada hari akhir adalah keyakinan yang pasti akan datangnya hari akhir dan sesuatu yang berhubungan dengannya. Dalam masalah iman kepada hari akhir, ada beberapa hal yang harus diyakini oleh seorang mukmin yakni, siksa dan nikmat kubur, hari mahsyar, hisab, surga, neraka dan semacamnya.
1. Nikmat dan Siksa Kubur
Kita yakin bahwa kematian itu pasti akan menjemput setiap manusia. Dan apabila kematian telah datang kepada seseorang, maka tidak akan bisa dimajukan atau ditunda. Allah SWT berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ. (الأعراف : 34).
"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka (ajal) tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS. al-A’raf : 34).

Dan setelah seseorang dikuburkan, Allah SWT mengembalikan ruh orang tersebut, kemudian datang dua malaikat yang akan menanyakan beberapa hal kepadanya. Malaikat itu bertanya kepadanya tentang Tuhan, nabi, agama, kiblat dan saudaranya.
Orang-orang yang dapat menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir adalah mereka yang selama hidupnya selalu berbuat kebaikan, banyak beribadah kepada Allah SWT, serta menolong sesama manusia. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. (فصلت، 30).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fusshilat : 30).
Sedangkan orang-orang yang selama hidupnya selalu diisi dengan kedurhakaan dan tindakan yang menyengsarakan sesama, akan mendapat siksa dalam kuburnya. Dalam hal ini, siksa kubur dibagi menjadi dua.
Pertama, Adzab kubur yang berlangsung terus sampai hari kiamat. Yaitu untuk orang tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang selalu berbuat dosa besar. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an tentang keluarga Fir’aun:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَاب. (المؤمن : 46).
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir`aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras". (QS al-Mukmin : 46).
Kedua, Adzab kubur yang berlaku sementara. Yakni siksa kubur yang diterima oleh orang mukmin yang melakukan kemaksiatan. Ia disiksa sesuai dosa yang dilakukan di dunia. Siksa ini bisa diringankan atau bahkan dihentikan jika apa yang dia diterima sudah dianggap cukup untuk menebus dosa yang pernah dilakukan. Atau ada do’a dan permohonan ampunan (istighfar) atau kiriman pahala sodakoh, bacaan al-Qur’an dan lainnya, yang dipanjatkan oleh sanak keluarga, famili, dan teman-teman yang masih hidup.
Dari sinilah, bagi segenap kaum muslim yang masih hidup, sebaiknya senantiasa mendo’akan keluarga, terutama kedua orang tua, sahabat atau seluruh kaum muslimin yang telah meninggal dunia. Hal itu merupakan salah satu bentuk kepedulian kepada mereka, sehingga dapat menjalani kehidupan alam kubur dengan tenang dan bahagia.
Dalam hal inilah, tradisi tahlilan yang sudah berlaku umum di masyarakat Indonesai perlu terus dilakukan dan dilestarikan, karena apa yang dibaca dalam acara tersebut merupakan sesuatu yang memang sangat dibutuhkan oleh orang yang telah meninggal dunia.
Begitu pula, setiap selesai shalat lima waktu agar tidak henti-hentinya mendo’akan kedua orang tua atau keluarga yang telah meninggal dunia, atau dengan mengirimkan pahala bacaan surat al-Fatihah untuk mereka.

B. Hari Kiamat
Hari kiamat adalah hancurnya seluruh alam semesta. Bumi dan seluruh alam raya serta makhluk yang ada di dalamnya akan binasa. Semua makhluk bernyawa akan menemui kematian. Bumi hancur, langit runtuh dan air laut tumpah. Semua orang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Firman Allah SWT:
إِذَا زُلْزِلَتِ اْلأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ اْلأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ اْلإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4).
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. al-Zalzalah : 1-4).
Hari kiamat pasti akan terjadi, namun tidak seorangpun yang mengetahui waktu terjadinya kiamat. Manusia dengan segala perangkat ilmu dan tekhnologi yang dimilikinya tidak akan dapat memprediksikan kapan terjadinya hari tersebut. Hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya SWT:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْ لاَ يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَا إِلاَّ هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ لاَ تَأْتِيكُمْ إِلاَّ بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ. (المائدة : 187).
"Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS. al-A’raf : 187).
Manusia hanya diberi pengetahuan tentang tanda-tanda terjadinya kiamat tersebut, agar kita selalu waspada dan terus meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Umumnya tanda kiamat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanda-tanda kecil, yakni sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Diantaranya adalah ketika Nabi Muhammad ditanya oleh malaikat Jibril tentang hari kiamat. Nabi SAW menjawab:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J مَا الْمَسْئُوْلُ بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ اْلأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ اْلإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ. (صحيح البخاري، 48).
“Dari Abi Huroiroh, Nabi SAW bersabda kepada orang yang bertanya tentang hari kiamat, "Orang yang ditanya ditanya tentang hari kiamat tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tetapi saya akan memberitahukanmu tentang tanda-tandanya. Yakni jika budak wanita telah melahirkan tuannya, jika pengembala onta berlomba-lomba meninggikan bangunan." (Shahih al-Bukhari [48]).
Tanda-tanda yang lain misalnya pendeknya waktu, berkurangnya amal, munculnya berbagai fitnah, banyaknya pembunuhan, pelacuran, kefasikan dan lain sebagainya.
Kedua, tanda-tanda besar, yakni keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa AS, munculnya matahari dari Barat, munculnya al-Mahdi, dabbah (binatang ajaib) dan lain sebagainya.
Hari kiamat berlansung sangat cepat, ditandai dengan tiupan sangkakala dari malaikat Isrofil dan matinya seluruh makhluk hidup. Mereka tetap dalam keadaan seperti untuk masa tertentu sebelum akhirnya dibangkitkan dari alam kubur.
C. Hari Kebangkitan, Padang Mahsyar dan Siroth
Yang dimaksud beriman kepada hari kebangkitan adalah kita berkeyakinan bahwa Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang ada di dalam kuburan mereka kemudian di kumpulkan pada satu tempat untuk melakukan penghitungan amal. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ (15) ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ. (المؤمنون، 15-16).
"Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat." (QS. al-Mukminun : 15-16).
Kebangkitan manusia dari alam kubur ditandai dengan tiupan sangkakala yang kedua. Setelah itu, seluruh manusia dikumpulkan di suatu tempat (Mahsyar) untuk ditimbang amal baik dan buruk yang telah dilakukan selama hidup di dunia.
يَوْمَ تَشَقَّقُ اْلأَرْضُ عَنْهُمْ سِرَاعًا ذَلِكَ حَشْرٌ عَلَيْنَا يَسِيرٌ. (ق، 44).
"(Yaitu) pada hari bumi terbelah-belah menampakkan mereka (lalu mereka keluar) dengan cepat. Yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi Kami." (QS. Qaf: 44).
Firman Allah SWT:
هُنَالِكَ تَبْلُو كُلُّ نَفْسٍ مَا أَسْلَفَتْ وَرُدُّوا إِلَى اللهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ. (يونس، 30).
"Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan." (Yunus 30).
Di tengah penantian di padang mahsyar itu, masing-masing orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak ada waktu bagi seseorang untuk memikirkan orang lain. Firman Allah SWT dalam ayat lain:
وَبَرَزُوا للهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللهِ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللهُ لَهَدَيْنَاكُمْ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ. (ابراهيم، 21).
"Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong, "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja?" Mereka menjawab, "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim : 21).
Kecuali nabi Muhammad SAW, yang dengan keagungan dan kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepadanya, mampu memberikan syafa’at (pertolongan) kepada seluruh umat manusia. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa pada saat umat manusia kebingungan karena suasana hirup pikuk yang terjadi, manusia mendatangi Nabi Adam as, meminta bantuan agar padang mahsyar bisa selesai. Namun nabi Adam as tidak menyanggupinya. Begitu pula dengan para nabi yang lain. Akhirnya umat manusia mendatangi nabi Muhammad SAW untuk meminta syafaat, dan nabi Muhammad SAW pun memberikan syafaatnya.
Setelah itu, masing masing orang diadili di hadapan Allah SWT. Mereka tidak akan berdusta di hadapan Allah SWT.
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. (يس، 65).
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yasin: 65)
Diberikan kitab yang berisi catatan amal perbuatannya selama di dunia. Orang yang menerima kitab tersebut dengan tangan kanan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Sedangkan mereka yang menerima kitab itu dengan tangan kiri atau dari balik punggung, akan menyesal dan susah akan siksa yang diterima.
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ (10) فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا (11) وَيَصْلَى سَعِيرًا (12).
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: "Celakalah aku". Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. Al-Insyiqaq : 7-12).
Amal baik dan buruk manusia ditimbang, sebagai vonis akhir untuk menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau terjerumus ke dalam neraka.
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (8) وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ. (الأعراف، 8-9).
Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.(QS. Al-A’raf : 8-9).
Di sini, setiap manusia yang ketika hidup di dunia selalu menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, beramal sholeh untuk kebaikan seluruh manusia, akan merasakan air dari telaga nabi Muhammad SAW (haudhun nabi). Dalam beberapa hadits diceritakan bahwa luas dan panjang telaga itu sama. Setiap sisi panjangnya satu bulan perjalanan. Airnya berasal dari telaga al-Kautsar, di tengahnya terdapat dua pancuran dari surga. Airnya lebih putih dari susu dan lebih dingin dari es, lebih manis daripada madu, dan lebih wangi dari minyak kasturi. Cangkir-cangkirnya sebanyak bintang di langit. Orang yang meminum airnya, tidak akan haus selama-lamanya.
Setelah melalui proses padang mahsyar, umat manusia akan melewati siroth. Yakni jembatan yang membentang di atas neraka sebagai satu-satunya jalan menuju ke surga. Karena itu, setiap orang pasti akan melewatinya. Dan setiap orang yang akan masuk surga pasti akan melewatinya. Firman Allah SWT:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا. (مريم، 71).
Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (QS. Maryam : 71).
Kemampuan menyeberang juga sangat tergantung dari amal perbuatan selama di dunia. Siapa saja yang istiqomah di atas jalan yang diridhai Allah SWT, ia akan dapat menyeberangi sirath tersebut kemudian masuk surga Allah dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Namun bila kehidupan dunia selalu diisi dengan keburukan dan perbuatan maksiat kepada Allah SWT, akan tergelincir ke dalam neraka, dan siksa yang amat pedih akan mengisi hari-harinya.
D. Surga dan Neraka
Setelah berada di padang mahsyar dan berjalan di atas siroth, tahap terakhir adalah pilihan antara surga dan neraka. Di akhirat Allah SWT hanya menyediakan dua tempat sebagai akhir dari perjalanan manusia. Tidak ada pilihan ketiga, juga tidak ada ada suatu tempat di antara surga dan neraka (al-Manzilah bainal manzilataini).
Surga adalah rumah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman. Diperuntukkan bagi orang-orang yang melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ (7) جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ. (البينة، 7-8).
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (QS. Al-Bayyinah: 7-8).
Di dalamnya terdapat segala kenikmatan dan keindahan, yang tidak pernah terbayangkan di dalam angan dan perasaan manusia di dunia. Tentang nikmat surga ini, al-Qur’an menggambarkannya:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ. (محمد، 15).
(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS. Muhammad : 15).
Sedangkan nikmat teragung bagi penduduk surga adalah tatkala mereka melihat Allah SWT secara langsung. Dzat yang Maha Rahasia, yang tidak dapat dibayangkan dan dilihat selama hidup di dunia, akan dapat dilihat secara jelas. Lama atau sebentarnya seseorang melihat Allah SWT tergantung seberapa banyak amal kebajikan yang dilakukan di dunia. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ. (القيامة 22-23 ).
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari (akhirat) itu berseri-seri. Kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat”. (QS. al-Qiyamah : 22-23).
Hadits Nabi Muhammad SAW. :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّاسَ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ J هَلْ تُضَارُّوْنَ فِيْ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ؟ قَالُوْا لاَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ قاَلَ فَهَلْ تُضَارُّوْنَ فِيْ الشَّمْسِ لَيْسَ دُوْنَهَا سَحَابٌ؟ قَالُوْا لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ . (صحيح البخاري ، رقم 6885 ).
“Dari Abû Hurairah RA bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami bisa melihat Tuhan kami pada hari kiamat? Rasulullah SAW bertanya, ‘apakah mata kalian rusak ketika melihat bulan purnama? Mereka menjawab, ‘Tidak, Rasul’. Rasul bertanya, ‘”Apakah berbahaya pada mata kalian ketika melihat mentari yang tak terhalang awan? Mereka menjawab, ‘Tidak Rasul’. Rasul bersabda, ‘Ya begitulah, kalian akan melihat Tuhan kalian.” (Shahih al-Bukhari [2885]).

Dengan redaksi yang lebih jelas Nabi SAW bersabda :
عَنْ جَرِيْرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ J إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا. (صحيح البخاري ، رقم 6883).
“Dari Jarir bin Abdullah RA, dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ‘sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian secara nyata.” (Shahih al-Bukhari [2883]).
Selain menyediakan surga bagi hamba yang taat dan patuh, Allah SWT juga menciptakan neraka sebagai balasan bagi orang-orang yang senantiasa menghiasi kehidupan dunianya dengan perbuatan durhaka kepada Allah SWT. Mereka menjadi bahan bakar api neraka yang menyala-nyala. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ. (التحربم، 6).
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. at-Tahrim: 6).
Setiap orang yang masuk neraka, akan mendapatkan siksa yang sangat pedih akibat dari perbuatannya di dunia. Mengenai pedihnya siksa neraka al-Qur’an menceritakan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا. (النساء، 56).
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ : 56).

خَاتِمَةٌ فِي ذِكْرِ بَاقِي الْوَاجِبِ مِمَّا عَلَى مُكَلَّفٍ مِنْ وَاجِبٍ
Bagian berikut ini adalah penutup, dalam menerangkan kewajiban yang tersisa yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf

نَبِـيُّنَا مُـحَمَّدٌ قَدْ أُرْسِلاَ لِلْـعَالَمِيْنَ رَحْمَةً وَفُضِّلاَ
Nabi kita, Nabi Muhammad, sungguh telah diutus oleh Allah SWT atas seluruh alam, sebagai rahmat dan diutamakan (atas semua rasul)

Syarh:
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai nabi terakhir yang membawa rahmat untuk seluruh alam. Tidak hanya untuk manusia tetapi untuk seluruh makhluk Allah SWT yang ada di jagat raya ini. Dalam al-Qur’an ditegaskan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ. (الأنبياء، 107).
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’ : 107).
Syariat Nabi Muhammad SAW tidak hanya berlaku bagi orang Arab saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Beda halnya dengan syariat nabi sebelumnya yang hanya berlaku pada waktu dan untuk umat tertentu. Ajaran Islam juga rahmat bagi seluruh alam, dengan adanya kepedulian dari agama untuk menjaga lingkungan hidup, tidak boleh merusak dan mengganggu semua makhluk Allah yang ada di muka bumi.
Salah satu bentuk rahmat Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW adalah ditangguhkannya siksa bagi orang-orang yang melanggar aturan Allah SWT, hingga nanti di akhirat. Tidak seperti yang dialami umat nabi sebelumnya, yang langsung menerima adzab di dunia atas pelanggaran yang mereka lakukan. Seperti yang menimpa kaum nabi Luth AS, nabi Musa AS, Nuh AS dan lainnya.
Selain itu, umat Islam wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah makhluk Allah SWT yang paling mulia. Para ulama menegaskan bahwa di antara dua puluh lima rasul Allah SWT yang wajib diketahui, ada lima yang paling utama, yang mendapat gelar ulul azmi. Dan Nabi Muhammad SAW ada di urutan pertama dari kelima nama tersebut.
Kemuliaan Nabi Muhammad SAW dikarenakan keistimewaan syariat yang beliau bawa. Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Sesuai dengan fitrah manusia, dan tidak membebani manusia dengan sesuatu di luar kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Atas dasar inilah, tidak ada ajaran lain yang melebihi keutamaan ajaran Islam.
اَلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَيُعْلَى عَلَيْهِ
"Islam adalah agama yang luhur dan tidak ada yang dapat menandingi keluhurannya."
Akhlak dan kepribadian yang beliau miliki juga menjadi salah satu penyebab keutamaan nabi Muhammad SAW. Keluhuran akhlak nabi Muhammad SAW ditegaskan langsung dalam al-Qur’an pada surat al-Qalam ayat 4.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم، 4).
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. al-Qalam: 4).
Dalam sebuah hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ J خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي. (سنن الترمذي، 3830).
“Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada keluarga (istrinya). Dan saya adalah orang yang paling baik di antara kamu dalam memperlakukan istriku.” (Sunan al-Tirmidzi, 3830).

أَبُوْهُ عَبْدُ اللهِ عَبْدُ الْمُطَّلِبْ وَهَاشِمٌ عَبْدُ مَنَافٍ يَنْتَسِبْ
وَأُمُّــهُ آمِـنَةُ الزُّهْرِيَّةْ أَرْضَـعَتْهُ حَلِـيْمَةُ السَّعْدِيَّةُ
Ayahnya Nabi SAW ialah Abdullah bin Abdul Muththolib bin Hasyim bin Abdi Manaf yang nasabnya bersambung
Ibunya ialah Siti Aminah az-Zuhriyyah dan yang menyusuinya adalah Halimatus Sa’diyah

Syarh:
Garis keturunan Nabi Muhammad SAW adalah dari golongan suku Quraisy. Yakni suatu kelompok yang sangat disegani di tanah Makkah. Ayah beliau adalah Abdullah bin Abdulmuththalib bin Hasyim bin Abdimanaf.
Dalam hal ini, terdapat pertalian darah antara Nabi Muhammad SAW dan Khulafur Râsyidin, terlebih Sayyidina ‘Utsmân RA yang merupakan putra dari sepupu Nabi SAW yakni Arwa, sebagai putri dari bibi Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Baidha’ binti Abdul Muththalib. Sedangkan Sayyidina ‘Alî RA adalah sepupu Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu, keduanya merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Sayyidina ‘Utsmân menikah dengan dua putri Rasul SAW secara bergantian, yakni Sayyidatuna Ruqayyah RA dan Sayyidatuna Ummu Kultsûm RA. Sedangkan sayyidina ‘Alî RA menikah dengan Sayyidatuna Fâthimah RA. Begitu pula dengan Sayyidina Abû Bakr RA dan Sayyidina ‘Umar RA yang merupakan mertua Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menikah dengan Aisyah binta Abû Bakr RA dan Hafshah binta ‘Umar RA.
Inilah salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad sangat mencintai para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW tidak segan-segan memuji para sahabatnya dan menyebutnya sebagai generasi terbaik Islam.

عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ J خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ. (صحيح البخاري رقم 2457).
“Dari sahabat 'Imron bin Hushain ra ia berkata. Nabi SAW bersabda, ”Sebaik-sebaik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya lalu generasi sesudahnya”. (Shahih al-Bukhari, [2457]).

Kecintaan itu juga ditunjukkan oleh ahlul bait atau keluarga Nabi SAW kepada para sahabat, begitu pula para sahabat yang sangat mencintai dan menghormati keluarga nabi. Bahkan musibah perselisihan yang terjadi pada sebagian sahabat tidak dapat dijadikan tanda kalau di antara para sahabat tidak terjalin persaudaraan yang sangat erat. Justru sebaliknya, jalinan kemesraan yang bertaut di hati mereka ibarat cinta bersambut, kasih berjawab. Indahnya pergaulan antara keluarga dan sahabat Nabi SAW harus diteladani oleh umat Islam. Hal ini terungkap dari tutur kata dan perbuatan mereka mereka yang menunjukkan hal tersebut.

1. Sayyidina Alî AS berkata tentang sahabat Abû Bakr RA dan Umar RA:
إِنَّ خَيْرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. (الشيعة منهم عليهم ص/60).
“Sesungguhnya umat yang paling baik setelah Nabinya adalah Abû Bakar RA dan Umar RA.” (Al-Syî`ah Minhum `Alaihim, 60).
2. Sayidina RA juga berkata tentang Sayidina Umar RA sebagai berikut:
لَمَّا غُسِلَ عُمَرُ وَكُفِنَ دَخَلَ عَلِيٌّ وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: مَا عَلَى اْلأَرْضِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ اَنْ أَلْقَى اللهَ بِصَحِيْفَتِهِ مِنْ هَذِ الْمُسَجَّى بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ. (الشيعة منهم عليهم ص/53).
"Ketika sahabat ‘Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Alî RA masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Al-Syî`ah Minhum `Alaihim, 53).
Sikap Sayyidina Alî RA ini merupakan ekspresi spontan dari lubuk hati terdalam bahwa di dalam hati beliau benar-benar tertanam jalinan kasih dan tambatan sayang kepada Sayyidina Umar RA. Sebab mustahil beliau melakukannya sekedar taqiyah (pura-pura) karena takut pada Sayyidina Umar RA, sebab pada waktu itu Sayyidina Umar RA telah meninggal dunia.
3. Ucapan Sayyidina Abû Bakar RA, tentang keluarga Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ J أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِيْ. (صحيح البخاري رقم: 3730).
“Dari Aisyah RA, sesungguhnya Abû Bakar RA berkata, “Sungguh kerabat Rasûlullâh SAW lebih aku cintai daripada keluargaku sendiri.” (Shahîh Bukhârî, [3730]).
4. Pada kesempatan yang lain, Abû Bakar RA juga berkata,
اُرْقُبُوْا مُحَمَّدًا J فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ. (صحيح البخاري 3436).
“Perhatikan Nabi Muhammad SAW terhadap ahli baitnya.” (Shahîh al-Bukhârî [3436]).
5. Dari 33 putra Sayyidina Ali RA tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan RA dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain RA dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Lihat, Al-Hujaj al-Qath’iyyah, hal. 195). Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali RA adalah hamba Allah yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali RA adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin pasukan, di antara sekian banyak peperangan yang dilakukan pada zaman Rasul, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau melakukan sikap pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya. Di samping itu, Sayyidina Ali adalah sosok yang bersih hatinya dan jauh dari sifat balas dendam. Sikap dan prilaku beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan jenis manusia yang di dalam hatinya penuh dengan dendam kesumat, karena itu tidak mungkin beliau mengajarkan raj’ah yang identik dengan balas dendam.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad SAW berlangsung hingga keturunan mereka bahkan, berlanjut sampai tingkatan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar RA menikah dengan Ummi Kultsûm RA putri Sayyidina Ali RA, Zaid bin Amr bin Utsmân bin Affân RA menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abî Thâlib. Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan lalu mempunyai anak Muhammad. (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz 4, hal 120 dan 114)
Begitu pula sikap yang dicontohkan oleh Imam Ja'far al-Shâdiq ketika beliau ditanya tentang sikapnya kepada sahabat Abu Bakar dan Umar. Beliau menjawab, “Keduanya adalah pemimpin yang adil dan bijaksana. Keduanya berada di jalan yang benar dan mati dengan membawa kebenaran. Mudah-mudahan rahmat Allah SWT selalu dilimpahkan kepada keduanya hingga hari kiamat.” (Ihqâq al-Haq li al-Syusyturî, juz 1, hal 16).
Dalam konteks ini pula Imam Ja‘far al-Shâdiq RA berkata:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ. (رواه الدارقطني).
“Aku telah dilahirkan oleh Abû Bakr dua kali." (Riwayat al-Dâraquthni).
Silsilah yang pertama dari ibunya, yang bernama Ummu Farwah binti al-Qâsim bin Muhammad bin Abû Bakar al-Shiddîq. Dan kedua dari neneknya yakni istri al-Qâsim yang bernama Asmâ’ binti Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Shiddîq. (Fâthimah al-Thâhirah, RA, 113).
Dengan demikian, kita harus memberikan penghormatan yang proporsional terhadap keluarga Nabi saw dan semua sahabatnya. Kita tidak boleh mencela seorang di antara mereka. Dalam konteks ini, Imam Abdul Ghani al-Nabulusi berkata:
وَصَحْبُهُ جَمِيْعُهُمْ عَلَى هُدَى تَفْـضِيْلُهُمْ مُرَتَّـبٌ بِلاَ اعْتِدَا
فَـهُمْ أَبُوبَكْرٍ وَبَعْـدَهُ عُمَرْ وَبَعْدَهُ عُثْمَانُ ذُو الْوَجْهِ الأَ غَرْ
ثُمَّ عَلِيٌّ ثُمَّ بَـاقِي الْعَشَرَةْ وَهِـيَ الَّتِيْ فِىْ جَـنَّةٍ مُبَشَّرَةْ
Semua sahabat Nabi SAW selalu mengikuti jalan petunjuk
Keutaman mereka dijelaskan dalam urutan berikut tanpa melampauinya
Mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman yang memiliki wajah yang cerah
Kemudian Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang dikabarkan oleh Nabi SAW akan masuk surga

Syarh:
Semua shabat Nabi SAW, secara umum selalu mengikuti jalan kebenaran yakni petunjuk Nabi SAW, sehingga kita tidak boleh membicarakan mereka kecuali dengan baik. Sedangkan sahabat yang paling utama menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah sesuai urutan berikut ini, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang dikabarkan akan masuk surga oleh Nabi SAW, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Di sini mungkin ada yang bertanya, mengapa kita harus menghormati dan mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW tercinta? Untuk menjawab pertanyaan ini, Almarhum Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf –mantan mufti Mesir-, berkata:
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya iman itu tidak akan menjadi kenyataan tanpa dibarengi dengan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Dalam hadits dijelaskan:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
"Tidak akan menjadi kenyataan iman salah seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai oleh kamu melebihi anak, orang tua dan seluruh manusia."
Sedangkan kecintaan kepada Nabi SAW tidak akan sempurna kecuali disertai dengan mencintai orang-orang yang dicintai Nabi SAW. Demikian itu menuntut kita untuk mencintai keluarga Nabi SAW, mencintai kerabat-kerabat Nabi SAW yang dicintainya dan mencintai para sahabatnya." (Al-Durar al-Naqiyyah hal. 35).


مَـوْلِدُهُ بِمَكَّةَ اْلأَمِيْنَةْ وَفَـاتُهُ بِطَيْبَةَ الْمَـدِيْنَةَ
أَتَمَّ قَبْلَ الْوَحْيِ أَرْبَعِيْنَا وَعُمْرُهُ قَدْ جَاوَزَ السِّتِّيْنَا
Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah yang aman dan meninggal dunia di Thaibah yaitu Madinah
Umur Nabi SAW genap 40 tahun sebelum menerima wahyu, sedangkan usia Nabi SAW (pada saat wafatnya) melebihi 60 tahun (yakni 63 tahun)


وَسَبْـعَةُ أَوْلاَدُهُ فَمِـنْهُمْ ثَلاَثَةٌ مِـنَ الذُّكُوْرِ تُفْهَمُ
قَاسِمْ وَعَبْدُ اللهِ وَهَوُ الطَّيِّبُ وَطَـاهِرٌ بِذَيْنٍ ذَا يُلَقَّبُ
أَتَـاهُ إِبْرَاهِيْمُ مِنْ سَـرِيَّةْ فَـأُمُّهُ مَـارِيَةُ الْقِـبْطِيَّةْ
Nabi Muhammad mempunyai 7 anak, di antara mereka adalah tiga anak laki-laki yang harus dimengerti
Yaitu Qasim dan Abdullah yang menyandang gelar al-Thayyib dan al-Thahir
Lalu Ibrahim yang lahir dari budak perempuan (Nabi SAW), yaitu ibunya yang bernama Mariyah al-Qibthiyyah

وَغَيْرُ إِبْرَاهِيْمَ مِنْ خَدِيْجَةْ هُمْ سِتَّةٌ فَخُذْ بِهِمْ وَلِيْجَةْ
Selain Sayyid Ibrahim, putra-putri Nabi SAW lahir dari Sayyidah Khadijah, mereka semuanya ada enam Khadijah adalah 6 dan kenalilah mereka dengan penuh kecintaan
وَأَرْبَـعٌ مِنَ اْلإِنَاثِ تُذْكَرُ رِضْوَانُ رَبِّي لِلْجَمِيْعِ يُذْكَرُ
4 putri Nabi SAW akan disebutkan berikut ini, semoga ridha Tuhanku kepada semuanya selalu disebut
فَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ بَعْلُهَا عَلِي وَابْنَاهُمَا سِبْطَانِ فَضْلُهُمْ جَلِي
فَزَيْـنَبٌ وَبَعْـدَهَا رُقَيَّةْ وَأُمُّ كُلْثُـوْمٍ زَكَتْ رَضِـيَّةْ
Keempat putri Nabi SAW tersebut adalah 1) Sayidah Fatimah az-Zahra' yang bersuami Sayidina Ali dan memiliki dua putra (yaitu Hasan dan Husain), yaitu dua cucu Nabi yang tampak keutamaannya; 2) Sayidah Zainab; 3) Sayidah Ruqayyah dan 4) Sayidah Ummi Kulsum yang suci dan diridhoi

عَنْ تِسْعِ نِسْوَةٍ وَفَاةُ الْمُصْطَفَى خُيِّرْنَ فَاخْتَرْنَ النَّبِيَّ الْمُقْتَفَى
عَـائِشَةٌ وَحَفْـصَةٌ وَسَـوْدَةْ صَـفِيَّةٌ مَيْـمُوْنَةٌ وَرَمْـلَةْ
هِنْـدٌ وَزَيْنَـبٌ كَذَا جُوَيْرِيَّةْ لِلْـمُؤْمِنِيْنَ أُمَّهَاتٌ مَرْضِيَّةْ
Al-Mushthafa (Nabi Muhammad SAW) wafat dengan meninggalkan 9 istri, mereka disuruh memilih, lalu mereka memilih Nabi SAW yang dapat diikuti
(Mereka adalah) Aisyah, Hafshoh, Saudah, Shofiyah, Maimunah, Romlah, Hindun, Zainab dan Juwairiyah
Bagi orang-orang mukmin mereka adalah ibu-ibu yang diridhoi

Syarh:
Nabi Muhammad SAW meninggal dunia meninggalkan sembilan istri. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mulia. Kesetiaan mereka telah terbukti dengan menjadi pendamping Nabi Muhammad SAW dalam suka dan duka. Mereka lebih memilih menjadi istri Nabi Muhammad SAW dari pada gelimang harta dan kemewahan dunia. Di dalam al-Qur’an kisah mereka diabadikan:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً (28) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا. (29).
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS. al-Ahzab : 28-29).
Mereka adalah adalah keluarga Nabi. Perempuan-perempuan terbaik yang menjadi ibu dari seluruh umat Islam (ummahatul mukminin). Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ. (الأحزاب، 6).
“Nabi itu lebih utama dari orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan Istri-istri Nabi adalah ibu mereka.” (QS. al-Ahzab : 6).
Oleh karena itulah, umat Islam wajib menghormati mereka, mendo’akan dan membacakan shalawat kepada mereka.
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ. (صحيح البخاري، 2118).
“Dari Abu Humaid al-Sa’idi, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, "Bagaimana cara kami membaca shalawat kepadamu?" Rasulullah SAW menjawab, "Bacalah, “Ya Allah mudah-mudahan engkau selalu mencurahkan shalawat kepada Muhammad, istri dan anak cucunya.” (HR. al-Bukhari [2118]).

حَمْـزَةُ عَمُّهُ وَعَبَّـاسٌ كَذَا عَمَّـتُهُ صَفِيَّةٌ ذَاتُ احْتِذََا
Adapun Hamzah adalah paman Nabi dan Abbas juga paman Nabi, sedangkan bibinya adalah Shofiyah yang selalu taat kepada Allah SWT.


وَقَبْــلَ هِجْـرَةِ النَّبِيِّ اْلإِسْرَا مِـنْ مَكَّةٍ لَيْلاً لِقُـدْسٍ يُدْرَى
وَبَعْـدَ إِسْـرَاءٍ عُرُوْجٌ لِلسَّمَا حَتَّى رَأَى النَّـبِيُّ رَبًّا كَلَّـمَا
مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْتَرَضْ عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ
Dan sebelum hijrah, Nabi melakukan isra' (perjalanan di malam hari) dari Mekah ke Baitul Makdis
Dan setelah Isra’ Nabi naik ke langit sampai Nabi melihat Tuhan (Allah) yang berbicara tanpa diketahui caranya dan tanpa batas
Dan difardhukan atasnya lima shalat setelah mewajibkan 50 shalat

Syarh:
Isra’ mi’raj merupakan perjalanan yang istimewa sekaligus kejadian luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Terjadi pada malam Senin tanggal 27 Rajab tahun 621 M. Satu tahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.
Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjid al-Haram (Makkah) ke Masjid al-Aqsha (Palestina). Sedangkan mi’raj adalah naik ke langit, sampai ke langit yang ketujuh bahkan ke tempat yang paling tinggi yaitu Sidrah al-Muntaha.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ .(الإسراء، 1).
“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjid al-Haram (Makkah) ke Masjid al-‘Aqsha (Palestina) yang Kami berkati sekelilingnya untuk Kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ : 1).
Kejadian Isra’ dan Mi’raj dilatarbelakangi oleh meninggalnya dua orang yang selalu membantu dakwah islamiyyah, yakni paman dan istri beliau, yakni Abu Thalib dan Sayyidatuna Khadijah. Sekaligus sebagai wisata hati bagi Rasulullah SAW, karena selama dalam perjalanan, Rasulullah SAW banyak menyaksikan bahkan mengalami kejadian-kejadian luar biasa, pelajaran yang sangat berguna untuk menempa hati beliau sebagai seorang nabi dan rasul Allah SWT.
Isra’ Mi’raj terjadi di luar kemampuan akal manusia. Secara gamblang, ayat (QS. al-Isra’ : 1), tersebut menyatakan bahwa Allah SWT telah memberangkatkan hamba-Nya untuk melakukan safari suci dengan ruh dan jasad Nabi Muhammad SAW, yaitu isra’ dan mi’raj. Berdasarkan ayat ini mayorits ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra’ mi’raj dengan ruh dan jasadnya. Imam Nashiruddin Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi mengatakan:
“Dan diperselisihkan apakah isrâ’ dan mi’raj terjadi pada waktu tidur (sekedar mimpi belaka) ataukah dalam keadaan sadar? Dengan ruh (saja) atau sekaligus ruh dan jasadnya? Mayoritas ulama berpendapat bahwa Allah SWT meng-isrâ’-kan Nabi SAW dengan jasadnya (dari Masjid al-Haram) ke Bait al-Maqdis kemudian menaikkan beliau ke beberapa langit sampai berhenti di Sidrah al-Muntahâ.” (Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz I, hal 576).

وَبَلَّـغَ اْلأُمَّةَ بِاْلإِسْـرَاءِ وَفَرْضِ خَمْسَةٍ بِلاَامْتِرَاءِ

Nabi menyampaikan kepada umatnya tentang Isra’ dan mewajibkan salat 5 waktu kepada semua umat tanpa keraguan

Syarh:
Kewajiban shalat lima waktu disampaikan oleh Allah kepada Nabi SAW pada saat isra'. Dari sini dapat dipahami tentang keutamaan shalat dari ibadah yang lain. Perintah shalat disampaikan langsung oleh Allah SWT, secara pribadi tanpa perantara siapapun. Tidak seperti ibadah lain yang diwajibkan melalui perantara Malaikat Jibril.
Jika seorang pimpinan menyampaikan perintah yang secara langsung kepada bawahannya, maka kualitas perintah itu akan lebih tinggi dari pada sesuatu yang disampaikan melalui tangan kedua, oleh staf dan bawahannya. Perbuatan itu sangat penting, sehingga harus disampaikan sendiri.
Dari sisi ini, kita bisa melihat posisi shalat dalam agama Islam. Shalat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga menjadi ruh agama Islam. Karena itu sangat wajar, jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa shalat adalah unsur terpenting dalam agama Islam dan amal pertama yang dihitung kelak di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
اَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلاَتُهُ فَاِنْ قُبِلَتْ تُقُبِّلَ عَنْهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَاِنْ رُدَّتْ رُدَّ عَنْهُ سَائِرُ عَمَلِهِ. (رواه الطبراني ).
“Amal pertama kali dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya diterima, maka diterimalah semua amalnya, namun bila shalatnya ditolak, maka ditolak pula seluruh amalnya.” (HR. Thabrani).
Berawal dari shalatlah semua perilaku yang baik dan terpuji akan bersemi. Shalat yang sempurna dan khusyu’ serta dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah SWT, akan menjadikan seseorang untuk selalu mengingat Allah SWT, karena itulah tujuan dari shalat tersebut. Firman Allah SWT:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي. (طه، 14).
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha : 14).
Ketika Allah SWT telah hadir dalam setiap denyut nadi dan hembusan nafas, maka dari sanalah akan tersemai segala perbuatan baik dan terpuji. Dan dengan sendirinya semua prilaku buruk dan tercela akan menjauh. Inilah yang dimaksud oleh Firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت : 45).
"Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar." (QS. al-Ankabut : 45).

قَدْ فَازَ صِدِّيْقٌ بِتَصْدِيْقٍ لَهُ وَبِالْعُرْوِجِ الصِّدْقُ وَافَى أَهْلَهُ
Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq telah beruntung dengan mempercayai isra' dan mi'raj, dan kebenaran tentang mi'raj datang kepada pengikutnya

Syarh:
Setelah melakukan isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada kaum Quraisy Mekkah, namun tidak seorangpun yang mempercayainya dan menganggap Nabi mengada-ada dan membuat berita palsu. Kecuali satu orang sahabat yang langsung mempercayainya, yakni sahabat Abu Bakar RA. Bahkan beliau berkata, “Jangankan peristiwa itu, lebih aneh dari itupun aku percaya, kalau Nabi Muhammad SAW yang mengatakannya”. Itulah sebabnya beliau diberi gelar as-Shiddiq (seorang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad SAW).
Sebelum peristiwa isra’ mi’raj tersebut, Nabi Muhammad SAW diberi gelar oleh penduduk Makkah dengan sebutan al-Amin. Yakni orang yang dapat dipercaya. Semua masyarakat Makkah percaya bahwa perkataan Nabi pasti benar, selalu jujur serta tidak pernah menipu. Namun ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan cerita isra’ mi’raj, kebanyakan masyarakat langsung tidak mempercayainya. Hal ini menunjukkan bahwa isra’ mi’raj adalah kejadian yang sangat luar biasa sehingga mampu menimbulkan keraguan mayoritas masyarakat Arab kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun bagi orang beriman yang mempercayai bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa, kejadian tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Sangat mungkin sekali, sebab beliau tidak berangkat dengan kemauan sendiri, tapi Allah SWT-lah yang berkehendak. Tak ada sesuatu yang mustahil bagi Allah SWT jika Dia menghendaki, walaupun itu di luar kemampuan manusia.
Ibarat seekor semut yang “menumpang” naik pesawat terbang dari Jakarta menuju Surabaya, kemudian kembali lagi ke Jakarta. Yang pasti, kaum semut tidak akan percaya akan cerita si semut yang telah melakukan perjalanan dalam waktu sesingkat itu. Tapi hal itu sangat mungkin terjadi, sebab dia memakai kendaraan yang kecepatannya tidak pernah terbayangkan oleh kaum semut. (Fiqh Tradisionalis, 250).
Begitu pula dengan isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa itu tidak akan terbayangkan oleh akal manusia, sebab yang digunakan Nabi SAW adalah kendaraan yang kecepatannya di luar jangkauan serta tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia, yakni Buraq.


وَهَـذِهِ عَقِيْدَةٌ مُخْتَصَرَةْ وَلِلْعَـوَامِ سَهْلَةٌ مُيَسَّرَةْ
Inilah Aqidatul yang ringkas, yang mudah untuk dipelajari dan dipermudah untuk orang awam
نَاظِمُ تِلْكَ أَحْمَدُ الْمَرْزُوْقِي مَنْ يَنْتَمِى بِالصَّادِقِ الْمَصْدُوْقِ
Sedangkan yang menazhamkan Aqidh tersebut adalah Ahmad al-Marzuqi, seorang yang nasabnya bersambung kepada Nabi SAW yang berkata benar dan dipercaya

Syarh:
Inilah akidah yang wajib diyakini oleh seluruh umat Islam. Akidah yang mudah untuk dipahami, diyakini kemudian diamalkan oleh seluruh umat Islam. Yakni akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang merupakan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya kemudian diteruskan oleh ulama salafus shalih dan akhirnya sampai kepada kita.


اَلْحَـمْدُ ِللهِ وَصَلَّى سَلَّمَا عَلَى النَّبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ عَلَّمَا
Segala puji bagi Allah, dan mudah-mudahan Allah memberi shalawat dan salam sejahtera kepada Nabi Muhammad, yaitu orang yang paling baik dalam mengajar manusia
وَاْلآلِ وَالصَّحْبِ وَكُلِّ مُرْشِدٍ وَكُلِّ مَنْ بِخَيْرِ هَدْيٍ يَقْتَدِي
Begitu juga kepada keluarga dan para sahabatnya serta setiap orang yang menunjukkan kebenaran dan orang yang mengikuti jalan yang benar

Syarh:
Setelah dibuka dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya, pada akhir bait dari pelajaran ini juga ditutup dengan hal yang sama. Selain dimaksudkan sebagai upaya mengharapkan pertolongan Allah SWT serta barokah dari Rasul, keluarga dan sahabatnya, hal ini sekaligus merupakan pengakuan akan kebesaran Allah SWT, serta puji syukur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada penulis.
Pengakuan bahwa tanpa ada belas kasih dan pertolongan Allah SWT penulis tidak akan mampu untuk menyusun nadham yang ringkas dan dengan bahasa yang gampang untuk dipahami. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah akal fikiran kepada manusia, sebagai salah satu nikmat yang sangat berharga yang dimiliki manusia. karena dengan akallah manusia dapat dibedakan dari makhluk Allah SWT yang lain.


وَأَسْأَلُ الْكَرِيْمَ إِخْلاَصَ الْعَمَلْ وَنَفْعَ كُلِّ مَنْ بِهَا قَدِ اشْتَغَلْ
Dan saya (Sayyid Ahmad al-Marzuqi) memohon kepada Dzat Yang Maha pemurah, agar dikarunia ketulusan dalam beramal, dan kemanfaatan bagi semua orang yang mempelajari akidah ini

Syarh:
Ikhlas merupakan kunci dari semua amal agar diterima oleh Allah SWT. Merupakan perintah Allah SWT kepada semua kaum muslim yang beribadah dan beramal shalih agar selalu ikhlas dalam perbuatannya agar amalannya dapat dicatat oleh Allah SWT sebagai amal baik yang mendapat ganjaran pahala. Firman Allah SWT:
هُوَ الْحَيُّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْد للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. (المؤمن، 65).
"Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam." (QS. al-Mukmin : 65).

أَبْياَتُهَا مَيْزٌ بِعَـدِّ الْجُمَلْ تَارِيْخُهَا لِي حَيُّ غُرٍّ جُمَلِ
Adapun bait-bait akidah ini adalah berjumlah 57 dengan hitungan Abajadun, sedangkan waktu selesainya adalah tahun 1258
سَمَّـيْتُهَا عَقِـيْدَةَ الْعَوَامِ مِنْ وَاجِبٍ فِي الدِّيْنِ بِالتَّمَامِ
Kami menamakan akidah ini dengan judul Aqidatul Awam yang menerangkan masalah wajib di dalam agama secara sempurna

Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma' al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.

Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam menetapkan konsep sifat 20 tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang wajib bagi Allah, antara lain:

Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari setiap orang yang beriman.

Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:
وَقَوْلُهُ J: « إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
Sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama", tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi J hanya bermaksud –wallahu a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal. 14).

Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاَءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku." (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Thabarani dan al-Hakim).

Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika Allah SWT bersifat baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat kebalikannya, yaitu fana'.

Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama juga mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).

Dari sini dapat kita memahami, kekeliruan pernyataan Nurcholis Madjid beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk saat ini sifat Rahmah Allah mestinya lebih layak ditekankan untuk diketahui dari pada yang lain. Karena pernyataan ini berangkat dari ketidakpahaman Nurcholis terhadap konsep Shifat al-Dzat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah (syarat ketuhanan) dan Shifat al-Af'al yang bukan Syarth al-Uluhiyyah.

Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan dalil 'aqli.

Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah (kelompok yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk), Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri).

Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain. Wallahu a'lam.

1 komentar:

  1. KEBANYAKAN BAHASA INTELEKNYA PUSING BUAT UKURAN KEBANYAKAN,EMANG KATA KIYAI KAMPUNG AMA UMAR BAKRI ILMU BISA AJA KAYA PROFESOR AJENGAN TAPI NGERAKSA,NGROKSO,PEKA, YANG PALING SUSAH

    BalasHapus